Friday, December 19, 2008

Pride & Prejudice



Both the movie and the book are all about the five Bennet sisters take place in old-fashioned England. They have all been raised by their mother with one purpose in life: finding a husband. But, the second eldest Elizabeth Bennet, called Lizzi, precisely, can think of hundred reasons not to marry.

Some day, Mrs Bennet exclame that no longer, a young-rich gentleman who taken Netherfield, Mr Bingley, will visit the village. This is the good chance to made acquaintance her daughters with Mr Bingley.

Then at the ball, Mr Bingley comes with another four people Mr. and Mrs Hurst, Miss Bingley and the gentleman who pronunced as the fine figure of man, darkly handsome and snobbish, and soon declared handsomer than Mr. Bingley, the gentleman is Fitzwilliam Darcy.

That was the first time Mr. Darcy staring a pair of fine eyes, the eye which belong to Lizzi. The woman he finally appointed as the handsomest ladiest in his acquaintance.

But the truths drag down Lizzi to prejudice to Mr. Darcy. His pride, his manners. Howcome, he ‘save’ Mr Bingley - as a loyal companion - from marrying Jane Bennet, Lizzi’s older sister. And the fact that Mr Darcy is the one who brought down Mr Wickham to proverty. All, made Lizzi interpret that Mr Darcy was the last man in the world whom she could be prevailed to marry.

Unforgivable thought of her, when later she face the condition where Mr Darcy pronounce: “In vain I have struggled. I will not do. My feeling will not be repressed. You must allow me to tell you how ardently I admire you and love you.”

After all the refusal, He was totally patient wait till the time. Fixing the prejudices of him. He save Lydia from scandal marriage with Wickham. He converse to Mr Bingley, and assuring him to come back where Jane Bennet belong. An action that perfeclty sealed but not sealed enaugh to Lizzi find out.

What, Mr Darcy done, made Lizzi facing the turning point of her prejudice of Mr Darcy. Moreover, her admiraton increasingly. Her pride decrease. And hoping someday, Mr Darcy make renewal of his proposal.

And, absolutely, the end of the movie as what Lizzi wondering for, and us.

Afterwards, I’m googling for the keyword “Pride & Prejudice”. And fortunately, I finally found the PDF file of the book, in english (you might visit the site and try for your fortune: site.girlebooks.com) . And I’ve finished read it last night(forthis post, i mean 2 months ago). Perhaps, that’s why I write this review in english too. There's something about Jane Austen's writing style. Oprah says them honesty, sincerity. And i'm kinda love it. Well then… []

Thursday, December 18, 2008

Kisah Wanita Tua yang Hafidz

Kisah ini dibacakan oleh Ustad Mutahhir Arif dalam khutbah ied silam, dari buku “Kepastian yang Sering Diragukan” yang ditulis oleh Al-Ustad Arif Marzuki Hasan. Aku sendiri mendengarnya sangat tersentuh dan termotivasi, karena itu kuposting di sini:
Salah satu kisah keyakinan yang memotivasi untuk menghafal al-Qur’an ialah kisah seorang ibu yang tadinya buta huruf, mulai belajar membaca Al-Qur’an pada saat ia berusia 55 tahun. Akhirnya, 13 tahun kemudian ia menghafal Al-Qur;an dengan sangat baik. Yaitu pada saat ibu itu berusia 68 tahun.

Ibu ini dipanggil Ummu Ahmad bercerita tentang kisahnya yang menarik:
“Saya bersuami seorang ustad di Qashim, Saudi Arabia, kami dikarunia beberapa orang anak.
Dalam perjalanan rumah tangga kami, suamiku tiba-tiba lumpuh, tidak dapat meninggalkan tempat tidur. Tapi walau demikian ia sangat rajin membaca Al-Qur’an dan mengulangi hafalannya. Saya selalu mendampinginya membaca Al-Qur’an, sayalah yang membalikkan lembaran-lembaran Al-Qur’an, karena dia tidak sanggup menggerakkan kedua tangannya.
Saya sangat tersentuh dengan kesungguhan suami saya membaca Al-Qur’an. Saya selalu mengatakan alangkah bahagianya sekiranya saya juga tahu membaca Al-Qur’an, saya buta huruf tidak tahu membaca dan tidak tahu menulis.
Bertahun-tahun saya merawat suami yang lumpuh sambil mendidik anak-anak. Akhirnya, Allah memanggil pulang suami saya, saat itu usia saya lima puluh lima tahun.
Sepeninggal suami, saya bertekan meneruskan perjuangannya, lalu saya membuka lembaga Tahfidzul Qur’an untuk wanita, dan sayalah pendaftar pertamanya. Saya langsung mengajak keluarga dan para tetangga, tapi mereka semua langsung mengejek saya, berusaha melemahkan semangat saya, mereka semua pesimis, karena saya buta huruh dan usia saya hampir enam puluh tahun, bagaimana mungkin saya bisa menghafal Al-Qur’an? Tap ejekan dan cemoohan mereka semakin menguatkan keyakinan saya bahwa jalan yang saya tempuh benar dan saya yakin bahwa saya bisa!
Setiap hari saya ke tahfidzul Qur’an untuk belajar membaca Al-Qur’an. Saya menghadapi banyak kendala karena daya ingat yang telah menurun, apalagi saya juga bekerja untuk menafkahi anak-anak, saya kemudian mendapatkan tambahan ujian yaitu anak-anak yatim saudaraku yang telah meninggal tidak lama ini dititipkan pada saya.
Di tengah semua beban berat itu, setiap hari saya ke Tahfidzul Qur’an, terus mengaji dan menghafal sedikit demi sedikit. Akhirnya, saya mengkhatamkan hafalan al-Qur’an setelah 13 tahun. Hafalan saya, Alhamdulillah lancar dan sangat baik. Di samping itu saya juga mempelajari ilmu-ilmu tauhid, fiqhi, muamalat dan akhlaq. Dan yang terpenting adalah saya telah mendapatkan sahabat-sahabat yang sholehah, yang senantiasa menambah keyakinanku, yang oleh keberadaan merekalah, saya tidak pernah berkumpul dengan ibu-ibu yang senang berghibah dan bercerita hal-hal yang tidak bermanfaat.
Sekarang, setiap kali saya merasa sedih, atau susah, atau ada masalah yang saya hadapi, atau yang memancing saya untuk marah, terasa sesak atau merasa malas, segera saya berwudhu, lalu sholat kemudian membaca Al-Qur’an sembari mengulangi hafalan. Setelah itu saya kembali kuat, berbahagia, dan bersemangat lagi.
Sekarang tahfidzul qur’an yang saya dirikan, sudah ramai dikunjungi oleh ibu-ibu dan remaja putri. Ada thalibah (santri) kami yang berusia 70 tahunm, sangat rajin dan bersungguh-sungguh belajar mengaji dan menghafal Al-Qur’an. Adapula yang berusia 80 tahun, berjalan memakai dua tongkat karena sakit, tapi nenek inilah santri yang paling bersemangat. Kami terharu melihat mereka. (dari kitab: Nisaa’ La Ya’rifnal Ya’s oleh: Syekh Ahmad Salim bin Ba Duwailin)

Dan Ingatlah Ia, Pagi dan Petang Hari

Mengapa Harus Berdzikir?

Pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang penting untuk dijawab, agar mampu memberikan dorongan bagi muslim untuk selalu menjaga dan komitmen dalam melaksanakan dzikir, betapapun banyaknya pekerjaan dan kesibukan.

Al-Allamah Ibnul Qayyim memberikan kita jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut dalam bukunya “al-Wabilul ash-Shoyyib” yang menguraikan 80 faedah berdzikir, beberapa point yang terdapat dalam buku Adzkarus Shobah wal Masaa terbitan Pesantren Darul Istiqamahakan saya posting di sini:


1. Dzikir itu dapat menghilangkan kesusahan, kesedihan dan kegundahan dari hati, mendatangkan kesenangan dan kegembiraan ke dalam hati serta menguatkan dan menghidupkan hati. Sebagaimana yang dikatakan oleh ibnul Qoyyim –rahimahullah- “dzikir bagi hati layaknya air untuk ikan. Dan bagaimanakan kondisi seekor ikan tanpa air?”

2. Dzikir mewariskan untuk seorang muslim perasaan muroqabatullah (selalu berada di bawah pengawasan Allah), serta dorongan untuk selalu kembali dan dekat kepada-Nya. Hal itu akan melahirkan kondisi di mana seorang hamba akan selalu ingat kepada Allah. Dan cukuplah Allah SWT sebagai tempat kembali, pelarian dan tempat meminta perlindungan dari segala bala dan musibah.

3. Dzikir itu adalah penyebab di mana Allah akan selalu ingat pada hambaNya, sebagaimana firman Allah

ﻓﺬﻛﺮﻭﻧﻲﺍﺫﻛﺮﻛﻢ

“Maka ingatlah kalian kepadaKu pasti Aku akan ingat kalian” (AlBaqarah:152)

Dan bila dzikir itu tidak memiliki faedah kecuali yang ini saja, maka cukuplah hal ini merupakan suatu kemuliaan dan keutamaan

4. Dzikir itu adalah menu dan makanan hati dan ruh. Dan sebagaimana badan akan lemah tanpa makanan, demikian pula dengan hati dan ruh yang akan lemah bahkan hancur tanpa dzikir.

5. Dzikir itu menghilangkan dan menghapus kesalahan, sebagaimana dzikir adalah kebaikan yang paling besar di mana kebaikan itu akan mnghapus kejelekan.

6. Dzikir itu akan menghilangkan perasaan sunyi antara hmba dengan Tuhannya sementara orang yang lalai dari mengingat Allah , maka antara ia dan Allah akan selalu berada dalam perasaan asing dan sunyi.

7. Dzikir membebaskan seorang hamba dari penyesalan di hari kiamat. Jadi seorang hamba yang tidak mengingat Allah SWT pada suatu majlis maka ia akan ditimpa kecelakaan dan penyesalan di hari kiamat

8. Dzikir itu adalah tanaman di surga. Rasulullah bersabda: pada malam isro’ku aku bertemu dengan nabi Ibrahim AS, beliau berkata ‘Wahai Muhammad! Sampaikan salamku kepada umatmu dan beritahu mereka bahwa surga itu tanahnya subur dan airnya jernih, tidak ada tanaman kecuali bacaan:

ﺳﺒﺤﺎﻥﷲﻭﺍﻟﺤﻤﺪﻟﻟﻪﻭﻻﺇﻟﻪﺇﻻﷲﻭﷲﺍﻛﺒﺮ

9. Sesungguhnya rutinitas melakukan dzikrullah memastikan seseorang aman dari melupakan Allah SWT yang merupakan sebab kecelakaan seorang hamba dalam hidupnya dan ketika kembali kepada-Nya.

10. Dengan banyak dzikir kepada Allah SWT maka kita aman dari sifat munafik karena mereka (para munafiquun) sedikit mengingat Allah, sebagaimana dalam firmannya

ﻭﻻﻳﺬﻛﺮﻭﻥﷲﺇﻻﻗﻠﻴﻼ

“Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit” (AnNisa:142)

11. Dzikir itu mengusir dan melumpuhkan setan.

12. Hati seseorang itu ada kerasnya dan tidak ada yang dapat melunakkannya kecuali dengan dzikrullah. Maka seorang hamba hendaknya mengobati kekerasan hatinya dengan dzikrullah.

13. Dzikrullah adalah penolong yang paling berperan dalam ketaatan kepada Allah SWT, karena dzikrullah menjadikan seorang hamba cinta, mudah dan menikmati ketaatan. Dan menjadikan ketaatan itu sebagai penyejuk mata, kenikmanatan dan kebahagiaannya di mana ia tidak merasakan lelah, kesulitan dan keberatan dalam melaksanakan ketaatan sepertiyang dirasakan oleh sering yang lalai dari dzikrullah.

Friday, December 12, 2008

Saudagar Buku dari Kabul


SAUDAGAR BUKU DARI KABUL
Author: Åsne Seierstad
“Bagaimana jawabanmu?” tanya Karim.
“Kautahu, aku tak bisa menjawab permintaanmu.”
“Tapi, apa yang kau inginkan?”
“Kautahu, aku tak boleh punya keinginan.”
“Tapi, kausuka padaku?”
“Kautahu, aku tak bisa menjawab pertanyaan seperti itu.”
“Akankah kau menerima jika aku melamarmu?”
“Kautahu, bukan aku yang memutuskan.”
-Satu dialog yang sangat menarik di buku ini (adalah dialog Karim, pemuda yang hendak melamar Leila, dengan Leila, adik bungsu Sultan)-

Åsne Seierstad, seorang wartawan surat kabar dan televisi Norwegia, telah membuat laporan yang sungguh menarik berjudul Saudagar Buku dari Kabul. Sebenarnya buku yang serasa fiksi ini merupakan laporan Åsne Seierstad setelah menetap empat bulan bersama keluarga seorang saudagar buku di Mikrorayon, Kabul, yang bernama Sultan Khan.
Sejak pertama kali Seierstad bertemu dengan Sultan Khan di toko bukunya sepulangnya dari Uzbekistan, mereka banyak berbincang mengenai buku-buku Sultan dan kebijakan pemerintah yang membumihanguskan buku-bukunya, semakin Seierstad mendengar maka semakin tertarik dia pada keluarga ini, dan pada Februari 2002 ia mulai tinggal di rumah Sultan untuk menulis mengenai keluarga Khan. Maka, selain nama yang disamarkan, seluruh isi buku ini adalah nyata dan asli.

Menarik sekali bagaimana Seierstad memulai bukunya, yaitu dengan kisah pernikahan kedua Sultan Khan, bagaimana ia melamar seorang gadis berusia enam belas tahun dari keluarganya yang bernama Sonya. Delapan belas tahun sebelumnya, Sultan telah menikahi seorang wanita yang berprofesi sebagai guru, Sharifa. Salah satu potret mengenai Afghanistan yang Seierstad rasa harus diketahui dunia: mereka berpoligami.
Sonya kemudian menambah penghuni rumah keluarga Khan di apartemen blok 37 Mikrorayon, tiga belas orang. Mula-mula Bibi Gul, selaku ibu Sultan Khan, Sultan sendiri, istri pertamanya Sharefa, istri keduanya Sonya, saudara Sultan: Shakila, Bulbula, Yunus dan Laila, anak-anak Sultan: Mansur, Aimal, Iqbal, Shabnam, dan Latifa.
Kehidupan keluarga ini penuh dengan drama dan komedi. Sultan mengisahkan bagaimana setiap rezim memperlakukan dia dan buku-bukunya, terakhir adalah suatu siang yang sangat dingin pada November 1999, di mana api unggun menyala-nyala di persimpangan Charhai-e Shadarat, Kabul, ketika peradaban Afghanistan yang tertera dalam lembar-lembar buku dimusnahkan: gambar-gambar Ratu Soraya, Raja Amanullah dan semua yang memiliki kepala dibakar di situ untuk “memuliakan” Tuhan. Dan tidak luput pula buku-buku Sultan yang bisa ditemukan polisi Agama. Meskipun demikian, melalui pengalaman-pengalaman sebelumnya, Sultan belajar untuk tidak memampang semua bukunya, sebagian telah disembunyikan di Peshawar, Pakistan.
Buku-buku itu aman, Sultan telah mengisntruksikan istri pertamanya Sharifa untuk menjaga buku-buku itu selagi ia berada di Kabul mengawasi toko bukunya yang lain bersama anak-anaknya.
Semua anak Sultan: Mansur, Iqbal dan Aimal bekerja di toko buku Sultan, karena Sultan tidak bisa memercayakan bukunya pada siapapun. Mansur adalah anak yang tertua, sudah dapat dipastikan tidak memiliki masa depan yang lain selain toko itu, sehingga seumur hidupnya ia selalu merasa terpenjara dalam aturan Sultan, dia akan bebas kalau Sultan tidak ada. Nasib Iqbal dan Aimal tidak jauh beda, mereka tidak bersekolah, karena telah mendapatkan pekerjaan yang layak itu, penerus toko buku.
Sultan adalah anak kesayangan Bibi Gul, ia adalah putra pertama dalam keluarga, tiga belas bersaudara. Sultan adalah tulang punggung keluarga, sehingga tidak ada yang berani menentangnya kalau ia tidak mau terlantar di jalanan Kabul yang berdebu. Satu kali terjadi perdebatan sengit antara Sultan dan kedua istrinya di satu pihak dengan Bibi Gul dan Leila di pihak yang lain, menjadi akhir cerita dari ketigabelas penghuni Mikrorayon. Setelah pertengkaran itu, subuh hari Bibi Gul, Laila, Yunus dan Bulbula pergi dari rumah Sultan Khan menuju rumah salah seorang adiknya, Farid, yang selama ini dimusuhi Sultan. Dan hari itu adalah beberapa minggu sejak Åsne Seierstad meninggalkan Kabul.
Potret intim kehidupan umat islam Afghanistan terangkum dalam kehidupan seluruh penghuni Mikrorayon, dan sungguh berbeda dengan stereotype yang ada selama ini, dituturkan dengan lepas namun sangat baik oleh Åsne Seierstad . Menarik untuk menjadi referensi.



Kenapa Ridho?

Kenapa Ridho?
Pertanyaan itu paling sering meluncur ketika belum selesai kuperkenalkan diriku.
"Ridho kan nama ikhwan!"
Lah, jadi aku ikhwan, gitu?
"Raidah Intizar, Ridho... mana nyambungnya?"
Ada empat huruf yang sama gini, kok...
Belum lagi kalo janjian mau ketemu akhwat di mushola, akhwat yang gak pernah ketemu face to face. Eh, dia nangkring duluan depan hijab, usut punya usut dia nyangkanya yang dia tunggu tuh ikhwan.
"Saya Ridho, Ukh, yang selama ini sms-an sama anti..."
"Jangan bercanda dong!" campuran ekspresinya bingung, terkejut dan tidak percaya.
Hampir frustasi aku. Padahal cuma kenalan aja kok heboh banget. Apa salahnya sih nama Ridho buat akhwat?
"Ya, salah, soalnya anti sama sekali nggak 'Ridho'!" sahut salah satu akhwat beda fakultas, yang sama-sama aktif di FLP.
Yang mungkin dimaksudkan akhwat ini adalah aku sama sekali gak maskulin, jauh harapan nama dan penampilan. Indah, sahabatku, mendefenisikan aku sebagai 'objek yang harus dilindungi dari kejahatan dan kemungkaran' karena katanya aku terlihat sangat lemah (segituunya, Ndah?), ni anak kalo kita jalan ke fotokopian kadang berdiri sok gagah di depanku, dengan tangan direntang lebar-lebar, siap nampar yang berani menggangguku. Seorang dosen bernama Pak Edi pula berkata 'Ya emang beginilah dia, kita ndak bisa paksakan suaranya nyaring, volumenya sudah maksimum.' saat (katanya) suaraku kelewat pelan, nggak bisa didengarkan satu kelas, Bu Jeanny aja kapok minta aku membaca modul. Sementara Kak Atun berpendapat, 'jangan maksa mau masuk organisasi shiyasy, Dho, kamu nggak cocok, kita ini kerjaannya aksi, orasi, entar kalo kenapa-napa di jalan, gimana?' ketika aku niat ikut daurah marhalah 1 KAMMI komsat Unhas.
Meskipun sebenarnya asal muasal tuh nama bukanlah karena sosok maskulin, kepribadian tomboy atau gimana, cuma sejarah yang nyeret aku pada nama itu.
Nama Ridho kuperoleh belum lama, yaitu awal tahun 2007. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi nama itu:

1. Kami, para redaktur buletin sekolah saat itu, memutuskan bahwa sebaiknya kami semua punya nama pena. Nah, Lia mengajukan keseragaman nama, maksudnya satu tema gitu. Trus Tian sertamerta menyarankan agar kami semua menggunakan nama cowok sebagai nama pena. Tapi butuh duduk, jalan, baring, jungkir balik yang panjang sebelum kami semua menemukan ilham nama apa gerangan yang sesuai.
2. Suatu saat Pak Yanuardi, guru Sejarah Kebudayaan Islam, menugasi kami membuat makalah dan presentasi tentang tokoh-tokoh sejarah yang terdapat dalam buku sejarah keluaran Depag untuk kelas tiga aliyah. Beberapa tokoh sejarah yaitu: KH. Ahmad Dahlan, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridho.
3. Pernah, sekali dalam seumur hidup, tidak lama setelah tugas makalah diberikan dan aku mendapatkan Ahmad Dahlan, seorang ustad dari Kuningan, Jakarta, studi banding ke pesantren kami. Seantero kampus putri mengagumi ketampanannya, apalagi ia juga nasyider. Ia memperkenalkan nasyid arab kepada kami berjudul 'zagridy ya samaa' yang sangat memukau dilantunkan olehnya. Fanatik ustad itu salah satunya adalah redaktur buletin sekolah, lebih spesifik lagi, aku (saking ngefansnya kita-kita introgasi seorang santri yang sering kebagian tugas rapihin kamar si ustad, ngeprint foto si ustad dan dipasang di kantor buletin, udah gitu rutinitas baru sebelum tidur zagridy-an dulu. Hehe... Pak Yan sebel jadinya.). Nama sang ustad kuningan adalah Rasyid.
4. Teman-temanku menemukan kesesuaian nama Ridho padaku setelah melihat adanya empat huruf yang sama, mereka terinspirasi dari tugas makalah Pak Yan di Sejarah Kebudayaan Islam. Dan kehadiran ustad Rasyid.
5. Nama itu seharusnya private, tidak diketahui oleh siapapun kecuali redaktur buletin. Namun kami dengan tololnya membuat grafiti nama itu di kantor buletin. Suatu ketika seorang santri bernama Muthia Hafid menyelinap masuk kantor dan dengan mudah mendapati nama-nama itu. Ia menghafal dan mulai mencocok-cocokkan.
6. Muthia adalah santri putri anggota angkatan 2004, yang berarti ia berada dalam kelas terbawel sekampus putri. Maka segera saja dua detik setelah ia temukan rahasia itu, seantero kampus-pun akhirnya tahu. Sampai para guru setelahnya memanggil kami dengan nama itu. Belakangan nama pena kami lebih populer dari nama asli.

Begitulah ceritanya sampai aku dianugerahi nama Ridho oleh sahabat-sahabatku. Launching pertama nama ini di dunia selain kampus putri adalah di hadapan seorang gadis turunan Bandung bernama Dedeh Fitriyani, yang sama-sama anak JILC. Lalu teman-teman JILC lain tahu, kemudian para tentor, dst. dsb. hingga akhirnya Pak Gegge berteori 'Ridho yang tak pernah ridho tidak dipanggil Ridho.'

Seenggak-enggaknya postingan ini mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam benak beberapa admirer-ku, iya nggak? Iya dong! Terima kasih, terima kasih! (glek! apel busuk?!)

Wednesday, December 3, 2008

Klasik


Sesekali simaklah sebuah musik klasik, sangat menenangkan dan menginspirasi.

1. Canon in D minor, inspiratif dan aktif, masterpiece Johann Pachebel, pokoknya keren, dua jempol deh buat komposernya.

2. Air oleh Bach, composer asal Jerman kalo nggak salah, Air cocok untuk relaksasi.

3. Brahms telah membuat komposisi yang bagus di Hungarian Dance no. 5, lengkap semua emosinya, dan dapet semua. Simak baik-baik. Musik yang sangat indah, sekalipun oleh penjaga UPT Unhas, dibilangin musik pemakaman.

4. Musik klasik pertama yang membuatku jatuh hati adalah gubahan Edvard Grieg untuk sebuah drama Peer Gynt yaitu Morgenstimmung alias Morning Mood. Pertama kali dengar dari Little Einstein. Bagus sekali. Teman2 aja yang rada-rada sinis sama musik favoritku ini, doyan denger Morning Mood.

5. Kalo mau yang romantic, dengarkan Felix Mandelsshon’s Wedding March.
6. Lagi melankolis? Raih Siberius & Walton’s violin concerto in D minor op. 47 1
7. Semua gubahan Beethoven dan Mozart insyaAllah mencerdaskan lho. Apalagi buat adek-adek.

Bingung mendapatkan di mana, download aja di 4shared.com atau sekalian nonton konsernya di YouTube.



Muslimah Only

Ada himbauan penting dari saudara kita, Al-Ustad Muhammad Nurhidayat, patut menjadi perhatian kita semua. Alhamdulillah hal ini telah diingatkan oleh beliau sehingga kita bisa waspada. Click readmore below

MAKLUMAT PENTINGSep 20, 2008
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Kepada yang Saya Hormati
Saudari-Saudariku Para Wanita Muslimah
di Bumi Allah Subhanahu Wata'ala

Saya menghimbau kepada Anda sekalian, mulai saat ini untuk tidak lagi menampilkan foto diri di jaringan internet, terkhusus pada blog-blog pribadi Anda.
Saya khawatir, foto Anda (terutama foto berjilbab) akan di-download dan disalahgunakan oleh para musuh-musuh Islam untuk dijadikan sebagai 'bahan baku' foto-foto yang sangat keji di internet demi upaya merusak citra Islam melalui foto-foto keji tersebut, sebagaimana yang telah dilakukan oleh pengelola sebuah blog.

Demikian himbauan saya, semoga Allah Subhanahu Wata'ala melindungi kita semua dari makar jahat musuh-musuh Islam.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, 29 November 2008

Tertanda

Muhammad Nurhidayat
Hamba Allah


Untitled

Di suatu tempat,
Entah di mana, di dunia
Seseorang menunggumu, berdoa
Seperti doa yang biasa kau ucapkan sehabis sholat

Pada suatu saat, entah apabila, di dunia
Seseorang merindukanmu, berjaga-jaga
Seperti malam-malammu yang berlalu dangat lambat

Seseorang menunggu, merindu, berjaga dan berdoa
Di suatu tempat, pada setiap
Seperti engkau, selalu

Ajip Rosidi
Ular dan Kabut, 1972


Waktu kami dapatkan di potongan Horizon, judulnya emang udah ngilang, untung penyairnya masih ada. Benar-benar puisi yang bagus. Kami sangat menyukainya.

Tuesday, December 2, 2008

Kwatrin Untuk Ingatan

Potongan puisi ini adalah karya Goenawan, sekitar tahun 1999, terdapat dalam bukunya "Sekedar singgah Minum." Tapi kami (waktu itu masih santri) menemukannya dalam buku Epiphenomenon: Telaah sastra terpilih yang disusun Arif Bagus Prasetyo, puisi yang kami gak ngerti tapi telah membuat kami jatuh hati

Aku tidak akan naik ke pucuk menara, di mana jam
Menghapusmu
Dari Praha. Plasa kehilangan kusam
Aku kehilangan kita