Saturday, March 20, 2010

STAGE 3

Pale face. Trembling palm. Cold Sweat. Delicate Step.
Here we go…
STAGE 3
Me: there you go, Sir (pass the form to the interviewer 1).
Interviewer 1: So, your name is Raidah Intizar (reading form). And you are from?
Me: Makassar, Sir. Maros precisely.
Interviewer 1: Which kecamatan?
Me: Bontoa.
Interviewer 1: what language do you speak.
Me: I speak Arabic and English
Interviewer 1: no, no, no. Your local language.
Me: Oh, Bugis, sir.
Interviewer: I see that Maros civil speak Makassar.
Me: Yes, er, half of them speak Makassar, half other speak Bugis.
Interviewer 1: don’t you speak Makassar too?
Me: no, I’m not. Cause I’m not Makassar.
Interviewer 1: Okay (silent in reading). What do you expect from this program?
Me: I expect to know other culture from other country, face bigger challenge, enrich my insight, expand my network, and apply what I’ve studied as communication student, cause I am from communication department. You know, we are studying cultural communication too.
Interviewer 2: (nods, nods)
Interviewer 1: So, which program did you applied for?
Me: Journalism, Sir.
Interviewer 1: no, no, no. From this student exchange program…
Me: I applied for ASEAN-Japan
Interviewer 1: why don’t you try to apply Australia Student-Exchange.
Me: because I’m not old enough.
Interviewer 2: same cases every time.
Interviewer 1: You are from communication department. You are majoring?
Me: Journalism, Sir.
Interviewer 1: why you choose that major? You’re not interested in Public Relation?
Me: No, sir. I’ve been interested in Journalism since I was young. I participate many activities that has relation to journalism. I joined wall magazine. I become the leader of staff in school magazine. I write. Yes, I joined everything that has relation to journalism.
Interviewer 1: Why don’t you express your talent in Identitas?
Me: I express my talent by writing sir. I write non fiction, and fiction. My writings ever published in Tribun Timur newspaper.
Interviewer 1: what kind of writings?
Me: Article.
Interviewer 1: Oh, Article, Essays, and opinion?
Me: Yes, but I write fiction too, Sir. Like short story and novel. I write poem too.
Interviewer: Alright, timing is yours.
(Diverted to Interviewer 2)
Interviewer 2: Okay Raidah, you’ve applied Asean-Japan. You’ll face multi cultural people. And, what do you think of diversity? Does diversity means good thing, or is it a bad thing?
Me: well, diversity is good thing. Diversity allows us to know each other. To know another person that has different culture from us. God Has created this diversity, thus we have to use wisdom to behave diversity. We have to appreciate this diversity thing.
Interviewer 2: Okay, good. I wish you a very good luck (stares meaningfully).
Me: Okay, thank you Sir.

Stand. Relieved sigh. Done. Another fight’s done.
My battle-fellows, here we go again, going trough bigger challenge. Too much addicted to Arai and Ikal Fairytale. Or maybe Riana and Mudrikan real-tale? I don’t know which one inspired you, fellows, but it was clearly shown that we have
great motivation.
How about the result? How if it’s not as we expected? Let’s not think about it, we are winner as we follow this competition. There’s a lot person out there, that doesn’t even give challenge a try.
We’ve got the upper hand!
Maybe we failed yesterday, maybe we failed today… but when someday we win, we’ll taste the greatest feeling of winning. It’s just like
fasting, you are hungry hour by hour, but when it’s time to eat, you will taste the most pleasant food.
The question now: Is there another OPPORTUNITY we could apply for?



Friday, March 12, 2010

30 Tahun Dari Hari Ini


(Sebuah Kado)

Pada hari itu, mungkin airmobile sudah ditemukan oleh seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman. Mungkin juga saat itu semua bangunan sudah menyerupai jamur, dengan beragam ketinggian —ya, petak-petak tanah tak cukup lagi untuk hidup. Mungkin pula seseorang telah berhasil mengembangkan teknologi kloning, kita demo di mana-mana mengenai etis tidaknya teknologi itu. Tapi sudahlah, tiga puluh tahun mendatang nanti, hal itu akan terlalu konvensional untuk dibicarakan. Aku ingin membahas tentang satu hal yang unik ini.

Saat itu aku duduk dalam ruang kelas, di sebuah universitas masa depan. Di depanku, belasan mahasiswa menatapku, menunggu komentar atas tugas Penulisan Kreatif yang dua minggu lalu kuberikan.

Sepasang mata dalam bingkai lensa minus, sama berminatnya menunggu responku. Kalau saja dia tahu, dia berhasil menangkap seratus —bukan, dua ratus persen perhatianku. Aku diam-diam mengamatinya, seorang pemuda berkacamata tipis, dengan tinggi rata-rata. Kulitnya sedikit gelap, dan garis wajahnya keras.

Belakangan aku tahu dia berkebangsaan Indonesia, bahkan sesuku denganku. Tahulah kawan, di masa depan, pasar bebas sudah mendarah daging, orang-orang berkerumun dari berbagai suku dan kebangsaan. Saat itu sedikit sulit menemukan dan memastikan orang yang sesuku dengan kita. Menemukan pemuda itu di kelas ini adalah hal yang menakjubkan.

Sekilas, tidak ada yang begitu spesial dari dirinya, di kelas multikultural ini. Kejeniusan masih dimenangkan mahasiswa Rusia di kursi terdepan. Kalau penampilan fisik, mahasiswa asal Venezia tetap juara pertama. Sedangkan orang dengan kemampuan sosial yang memukau, aku memilih mahasiswa gempal asal Korea Selatan.

Lalu apa yang begitu menarik dari pemuda Indonesia itu?

Sebenarnya sederhana saja: tulisannya. Tulisan mahasiswa itu dalam sebuah kartu mikro tugas-tugasnya. Cara untuk mengalihkan perhatian dosen penulisan kreatif padamu, adalah membuktikan bahwa kau piawai menulis. Sesimpel itu.

Tulisan mahasiswa Indonesia itu mengingatkanku tentang masa lalu. Saat sastra murni yang menyentuh, tak semahal periode-penuh-artifisial ini. Para ilmuwan itu menemukan cara untuk membuat memori dalam kepala robot cyber canggih. Mereka menemukan cara menstimulasi naluri hewan, sehingga bisa lebih cerdas delapan kali. Mereka juga membuat komputer dengan prosessor yang luar biasa. Tetapi mereka tak pernah bisa memprogram estetika sastra dalam tiap temuan mereka.

Lalu manusia dua puluh tahun mendatang ini pelan-pelan berevolusi menjadi robot. Mereka tak lagi mencintai keindahan sastra, kadung terperangah terhadap teknologi. Sastra adalah hal antik, dengan sedikit pengagum dan kolektor. Mata kuliah Penulisan Kreatif ini hanya sebagai prosedural birokrasi universitas. Tak wajib, tak pula sunnah.

Dua minggu lalu, kusebutkan pada mahasiswa-mahasiswaku agar menyerahkan dua tulisan terbaik mereka. Aku sengaja tak memberi mereka petunjuk lebih. Aku ingin lihat pengagum atau kolektor sastra yang tersisa di kelas baru ini.

Di antara kartu-kartu mikro tugas mereka, yang berisi tulisan proyek ilmiah, aku menemukannya!

Tulisan mahasiswa Indonesia itu ada dua, satu adalah cerita pendek. Satu lagi adalah sebuah karya tulis ilmiah tentang “Pengaruh Sastra dalam Pembentukan Moralitas Pemuda”.

Gaya berceritanya luar biasa. Sistematika karya tulisnya juga sempurna. Satu adalah benda antik dunia literatur, satu lagi adalah bingkai berisi potret benda antik itu.
Aku gembira, sampai ingin menjerit. Sudah belasan tahun aku mengajar mata kuliah ini. Mahasiswa yang sungguh-sungguh terhadap mata kuliah ini punah oleh zaman, sementara aku masih duduk di sini, mengajarkan penulisan yang hambar dan artifisial.

“Kamu.” Aku menunjuknya. Tidakkah ia tahu bakat menulis fiksi dan nonfiksi yang ia miliki. Bukankah dulunya ini unik? Satu orang dengan kemampuan menulis fiksi dan nonfiksi di waktu yang sama.

Ia celingak-celinguk. Seisi kelas memandangnya.

“Anda berbicara dengan saya?” tanyanya kemudian.

“Apa yang kamu tahu tentang Sastra?”

“Sastra adalah karya tulis.” Jawabnya singkat. Dia terdiam, mengamati penanya.

“Hanya itu?”

“Karya sastra memiliki nilai lebih, baik dari segi tema, diksi, dan gaya bahasa.”

“Haya itu?”

“Estetika saya pikir, itulah yang membuat karya sastra berbeda.”

Semua peserta kelas terhenyak mendengar jawabannya. Kening mereka berkerut-kerut. Mudah saja mereka memecahkan persoalan kalkulus, tetapi memahami sastra tak mampu. Ini masa depan, kawan!

Saat itulah aku tahu bahwa aku tak seorang diri lagi. Sebenarnya jawaban itu klasik, kalau saja aku mendengarnya tiga puluh tahun lalu. Tetapi menemukan orang yang mengerti sastra, dan bisa membuat karya sastra adalah hal yang lebih ajaib. Unik. Apalagi dia adalah seorang pemuda yang tumbuh di era hiperteknologi.

“Kamu juga menulis karya tulis sosial, kan?”

“Ya, saya pikir sudah terlalu banyak proyek ilmiah.”

“Baiklah, kamu pantas mendapat A plus. Kelas bubar.”

Para mahasiswa bergegas keluar. Wajah mereka masih kebingungan. Kupikir mereka masih terpikir tentang arti ‘sastra’. Birokrasi sudah mencegahku untuk mengajarkan apa yang tidak dibutuhkan. Mengajarkan karya tulis sastra tidak akan memberi sumbangsih terhadap pengembangan teknologi.

Padahal seseorang pernah memberitahukanku tentang pentingnya berimajinasi. Serta menuangkan imajinasi dalam tulisan. Apa yang kudapati masa ini, aku yakin adalah realisasi imajinasi.

Sekarang mereka tak menganggap itu penting lagi. Mungkin benar perkataan seseorang lagi padaku, bahwa manusia yang menggunakan otak kirinya terus menerus, akan membunuh fungsi otak kanannya. Berimajinasi. Seni. Sastra.

“Maaf,” seseorang menegurku. Dia adalah mahasiswa Indonesia tadi.

“Ada apa?”

“Kenapa Anda memberi saya A plus, saya tak mengerti. Teman-teman yang lain melarang saya menyerahkan tugas saya, mereka bilang saya akan membuat Anda marah. Karya sastra adalah sesuatu yang percuma, tak melahirkan inovasi baru.”

“Penulisan Kreatif bukan hanya tentang proyek ilmiah. Aku senang kamu menganggap bahwa cerita pendek itu adalah karya tulis terbaikmu. Dan karya tulis sosial itu, bagaimana kau melakukan penelitian pustaka juga menarik.

Kamu masih mahasiswa baru. Kamu tak hidup di zamanku, ketika orang membaca tulisan untuk bersenang-senang. Tulisan yang indah, menyentuh, bahkan memotivasi.” Jelasku padanya.

“Ayah saya selalu berkata demikian.”

“Apakah Ayahmu yang mengajarkanmu sastra?”

“Tidak langsung. Saya membaca tulisan-tulisannya yang dia arsip dalam kertas-kertas aneh. Saya pikir itu semacam artefak dulu.”

“Ayahmu penulis?”

“Ya. Ibu saya juga menulis. Dia memiliki berjilid-jilid karya tulis sosial. Itu juga saya sangka sebagai artefak.”

Ingatanku terbang ke tiga puluh tahun silam. Aku mencocok-cocokkan fakta-fakta yang ada. Aku akhirnya tiba pada kesimpulan.

“Aku rasa aku mengenal mereka. Sampaikan salamku pada kedua orangtuamu.”

Lalu dia berlalu, mengulum senyum. Sekarang aku semakin menemukan kemiripan ia dengan ayah ibunya.

Orangtua mahasiswa itu adalah dua dari sekian orang yang berpengaruh dalam hidupku.
Ayahnya adalah orang yang pertama kali memanggilku bergabung di Forum Lingkar Pena, tiga puluh dua tahun lalu. Hari itu dia mengkritisi novel tulisanku, Lapangan Bintang. Selanjutnya, hidupku tak pernah jauh dari Forum Lingkar Pena. Organisasi yang menempa kemampuan menulis dan sosialku. Di sini aku belajar mengikis sifat individualisku. Serta semangat kompetisi untuk menjadi penulis terbaik.

Ibunya adalah orang yang menjadi dewan pembina ekstrakurikuler Karya Tulis Ilmiah di fakultasku, tiga puluh tiga tahun lalu. Sekalipun aku tak pernah mendapat bimbingannya langsung, aku banyak mendengar tentang dia. Tentang konsistensinya mengenakan jilbab lebar di negeri kangguru dulu. Di tengah kaum feminis. Kalau saja dia tahu, dia adalah teladanku di dunia akademik.

Sungguh kebetulan yang menyenangkan bisa menemukan anak mereka berkuliah di kelasku. Sebenarnya aku sudah menduga ini, sebelum kedua orang yang kukagumi itu menikah 14 Februari 2010 lalu. Bahwa kelak anak mereka akan memiliki perpaduan bakat menulis fiksi dan nonfiksi. Ayahnya cerpenis, dan ibunya adalah ahli karya tulis ilmiah.
Mungkin besok aku harus menanyakan alamat mereka, dan berkunjung ke sana.

Maros, 12 Februari 2010



Wednesday, March 10, 2010

Dia,

Aku tidak ingat tanggal persisnya, tetapi itu pasti akhir abad ke dua puluh. Sebuah nama menggaung dalam rongga kosong benakku. Ada yang menyahut ketika aku berjalan, ketika aku duduk, ketika aku berlari. Nama yang asing. Nama itu selalu mengiringi namaku. Begitu pula hidupku.

Aku tidak ingat tanggal persisnya, tetapi masih di abad yang sama. Aku ingat jendela bertirai kawat di tempat ibadah. Ada kertas terselip di sana. Kertas putih berderai-derai tinta hitam. Tulisan tangan yang indah. Paragraf-paragraf yang menyertai hidupku selanjutnya. Kalimat tawa, kalimat tangis, kalimat hati.

Aku tidak ingat tanggal persisnya, tetapi mungkin di awal abad dua puluh satu. Pertengahan tahun. Aku melihat orang itu duduk di bangku kayu. Menunduk, menekuri kertas miliknya sendiri. Kertas putih berkilau yang akan mengantar ke tempat mana saja. Tempat-tempat yang jauh.

Aku tidak ingat tanggal persisnya, mungkin tahun 2002. Dia kembali, tak berkertas, namun bersepeda. Bersepeda dari tempat yang jauh. Rikuh dan kaku ia mengayuh sepeda. Angin menerbangkan helai-helai rambutnya. Angin tawa, angin tangis, angin hati.

Aku tidak ingat tanggal persisnya, tapi itu pasti tahun kelulusan. Mungkin terbiasa, aku sadar akan hadirnya. Orang yang sama berdiri di bawah lintangan-lintangan lampu kecil. Membalikkan badan saat aku melintas. Dan aku terus berjalan ke selatan.

Aku tidak ingat tanggal persisnya, tapi ini baru-baru saja. Aku masih mencari tahu, kenapa aku harus menemukannya lagi. Di jaring itu ia bersemayam, menulis di kertas-kertas. Kertas yang tak berisi kalimat tawa, kalimat tangis, kalimat hati. Namun kalimat itu membangunkanku di tepi malam. Aku menyadarinya terlambat, nyatanya paragraf dalam kertas itu tetap menyertai hidupku.

Aku kemudian ingat, di setiap waktu. Sahutan-sahutan itu. Kalimat-kalimat itu. Angin itu.

Allah… kenapa hidupku masih saja tentang dia?



Friday, March 5, 2010

Film Indie


Film "Resah: Pencarian untuk Ditemukan" dibuat tahun 2008, dan diedit ulang setelah September 2009. Film yang diperankan oleh Nurul Insani ini, diikutkan pada Festival Film Pendek Pro-U Media.



Wednesday, March 3, 2010

Komunikasi Politik: An Introduction

A. PENGERTIAN KOMUNIKASI POLITIK

Komunikasi dan Politik merupakan dua bidang kajian ilmu yang berbeda. Komunikasi dirumuskan sebagai ilmu mengenai kegiatan komunikasi manusia, baik dari tataran intrapersonal, interpersonal, kelompok, organisasi, massa, dan lain sebagainya. Politik sendiri merupakan ilmu tentang negara, “politics is the science which is concerned with the state…” (Kaspar Bluntscheli), atau ilmu tentang kekuasaan.

Terintegrasinya kedua disiplin ini melahirkan suatu studi interdisiplin yang membicarakan tentang studi aspek-aspek politik dari komunikasi publik. Pembahasannya bersentuhan dengan media sebagai medium pengelolaan kesan. Komunikasi Politik turut pula mengkaji propaganda-proganda dan agitasi-agitasi akibat hubungan antara aktor-aktor politik dan aktor-aktor media. Lebih spesifik lagi, objek kajian Komunikasi Politik, antara lain: Perilaku Penguasa, Pola Keyakinan dan Pendapat Umum (Public Opinion).

Kajian komunikasi politik pada awalnya berakar pada ilmu politik, meskipun penamaannya lebih banyak dikenal dengan istilah propaganda. Ini dimulai pada tahun 1922 dengan penelitian dari Ferdinand Tonnies dan Walter Lippmann yang meneliti opini publik. Praktik propaganda lalu berkembang pesat menjelang Perang Dunia II, ketika NAZI Jerman berhasil melakukan ekspansi di bawah propaganda Dr. Joseph Gobbel.

Semenjak itu, ilmu propaganda terus berkembang karena kesadaran para ilmuwan tentang kegunaaanya. Propaganda tidak lagi berkonotasi negatif dan amoral. Lasswell merintis satu karya “Propaganda Technique in the World War” (1972) yang banyak memperoleh perhatian dan pengembangan, hingga kemudian menjadi satu interdisiplin dengan nama “Komunikasi Politik”.

Secara filosofis kajian komunikasi politik adalah hakikat kehidupan manusia untuk mempertahankan hidup dalam lingkup berbangsa dan bernegara. Setiap negara akan selalu berorientasi kepada fungsi primer negara yaitu tujuan negara. Tujuan ini dapat dicapai apabila terwujud sifat-sifat integratif dari semua unsur penghuni negara.

B. KAITAN KOMUNIKASI DAN POLITIK

Menurut Lucian Pye, antara Komunikasi dan Politik mempunyai hubungan erat yang istimewa karena berada dalam kawasan atau domain politik dengan menempatkan komunikasi pada posisi yang sangat fundamental. Galnoor mengatakan bahwa tanpa komunikasi , tidak akan ada usaha bersama, sehingga tidak ada politik.”

Almond dalam Alfian (1990) melihat bahwa komunikasi merupakan salah satu masukan yang menentukan bekerjanya semua fungsi dalam sistem politik. Ibaratnya sistem sirkulasi darah dalam tubuh yang mengalirkan pesan-pesan politik berupa tuntutan, protes, dan dukungan (aspirasi dan kepentingan), ke jantung (pusat) pemrosesan sistem politik. Komunikasi politik menyambungkan semua bagian dari sistem politik sehingga aspirasi dan kepentingan dikonversikan menjadi berbagai kebijaksanaan.

Almond berpendapat bahwa komunikasi politik adalah salah satu dari tujuh fungsi yang dijalankan oleh setiap system politik. Ketujuh fungsi itu adalah sebagai berikut: komunikasi politik; sosialisasi dan rekrutmen politik; artikulasi kepentingan; agregasi kepentingan; pembuatan aturan; aplikasi aturan; pengadilan atas pelaksanaan aturan (rule adjudication).

C. DEFENISI KOMUNIKASI POLITIK

Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, Gabriel Almond (1960) berpendapat bahwa komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.” Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inheren di dalam setiap fungsi sistem politik.

Meadow (1980) juga membuat defenisi bahwa “political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for political system”. Meadow memberi tekanan bahwa symbol-simbol atau pesan yang disampaikan itu secara signifikan dibentuk atau memiliki konsekuensi terhadap sistem politik.
Nimmo mendefinisikan komunikasi politik sebagai ”communication (activity) considered by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflict”. Atau kegiatan komunikasi yang berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia di dalam kondisi-kondisi konflik. Definisi ini menggunakan pendekatan konflik (baca: pandangan politik).

Roelofs (dalam Sumarno & Suhandi, 1993) mendefinisikan komunikasi politik sebagai komunikasi yang materi pesan-pesan berisi politik yang mencakup masalah kekuasaan dan penempatan pada lembaga-lembaga kekuasaan (lembaga otoritatif). Definisi ini menggunakan pendekatan kekuasaan dan kelembagaan (baca: pandangan politik).

Sedang menurut Perloff, Komunikasi Politik adalah “Process by which a nation’s leadership, media, and citizenry exchange and confer meaning upon messages that relate to the conduct of public policy.”

Menurut Dahlan (1999), Komunikasi Politik adalah suatu bidang atau disiplin yang menelaah prilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik, mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap prilaku politik.

McNair dalam bukunya “Introduction to Political Communication” (2003) menyatakan bahwa “political communication as pure discussion about the allocation of public resources (revenues), official authority (who is given the power to make legal, legislative, and executive decisions), and official sanctions (what the state rewards of punishes). Jadi, Komunikasi Politik menurut McNair murni membicarakan alokasi sumber daya publik yang memiliki nilai, apakah itu nilai kekuasaan, dan ekonomi. Orang yan memiliki kewenangan untuk memberi kekuasaan, membuat keputusan, dan kewenangan membuat perundang-undangan dan aturan, serta memberi imbalan atau denda.

Prof. Hafied Cangara dalam bukunya “Komunikasi Politik” (2009) menyatakan bahwa komunikasi politik adalah proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta memengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik.

Miriam Budiardjo juga merumusan Komunikasi politik sebagai salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa –“penggabungan kepentingan” (interest aggregation” dan “perumusan kepentingan” (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi public policy.

Jack Plano dalam Kamus Analisa Politik, mengartikan Komunikasi Politik sebagai penyebaran aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi seperti komunikator, pesan, dan lainnya. Kebanyakan komunikasi politik merupakan lapangan wewenang lembaga-lembaga khusus, seperti media massa, badan informasi pemerintah, atau parpol. Namun demikian, komunikasi politik dapat ditemukan dalam setiap lingkungan sosial, mulai dari lingkup dua orang hingga ruang kantor parlemen.

Situs ensikolpedi Wikipedia menyatakan “Political communication is a field of communications that is concerned with politics. Communication often influences political decisions and vice versa.”

Kajiannya meliputi (1) Election campaigns - Political communications deals with campaigning for elections. Dan mengenai (2) Political communications as one of the Government operations.

SUMBER

Cangara, Hafied. 2009. Komunikasi Politik. Jakarta: Rajawali Press.

http://tengkudhaniiqbal.wordpress.com/2006/08/04/komunikasi-politik-sebuah-neologisme/

http://adiprakosa.blogspot.com/kajian-komunikasi-politik-1/

http://massofa.wordpress.com/teori-pendekatan-komunikasi-politik

http://ibnusalam.tripod.com/kompol.html

http://oki-sukirman.blogspot.com/teori-komunikasi-politik.html