Monday, May 31, 2010

Saya Mengundurkan Diri

Allah,
kalau aku akan hidup tanpa manfaat
kalau aku akan hidup dengan benci orang padaku
kalau aku akan hidup membawa kesulitan
kalau aku akan hidup seperti itu
ambillah saja nyawaku
aku tak menjadi kasihsayang bagi manusia
selayak yang Engkau tugaskan padaku
dan seperti seorang pegawaiMu
kerjaku tak becus
maka aku mengundurkan diri
Allah,
aku tidak menginginkan nyawaku lagi

Monday, May 24, 2010

Pursuit of Happyness

Beberapa waktu lalu, saya menonton film "Pursuit of Happyness", di notebook teman saya yang harus kuliah.

Awalnya, saya tidak mengerti, kenapa kata "Happiness" mesti disalah-salahin jadi "Happyness". Belakangan, saya merenung, mungkin maksud penyalahgunaan kata itu adalah untuk menunjukkan pada kita semua, kadang kebahagiaanpun cuma jadi konsep ideal. Pada kenyataannya, tidak ada yang sungguh ideal (baca: sempurna. Masalahnya kalo saya nulis pake kata "sempurna", pasti lebih klise lagi) di muka bumi ini.

Pada suatu tempat, di suatu kesempatan, saya menyadari ada begitu banyak Will Smith berkeliaran di sekitar saya. Mereka semua sedang mengejar alat pemindai kepadatan tulang mereka yang dicuri. Karena benda itu, menurut pendapat mereka, akan membawa mereka pada kebahagiaan.

Saya ingat seorang wanita renta, yang kakinya buntung. Ia menyeret gerobak kecil dengan tangannya di sepanjang trotoar. Sampai telapaknya menebal oleh beton panas yang kasar. Tangan satunya lagi, menggenggam gelas besi kosong. Ia menyusuri sepanjang jalan poros.
Kenapa wanita itu menyeret gerobak dengan tangannya seperti itu? Kenapa ia mengemis? Kenapa ia tidak berpasrah seutuhnya pada takdir, dan menunggu waktunya sendiri?

Saya ingat seorang pria, yang mengendarai motornya. Pria itu mengenakan jaket berwarna biru pudar. Helmnya pun mulai terkelupas di sana sini. Laju motornya melambat, dan dia menepi saat melihat wanita cacat bergerobak. Pria itu berhenti. Ia mengeluarkan lembaran-lembaran uang lusuh dari sakunya. Lalu si pria memasukkan seribuan ke gelas besi kosong wanita itu.

Kenapa? Kenapa pria yang tidak tampak sejahtera itu mau mengeluarkan uangnya untuk sang wanita cacat? Kenapa dia tidak membeli makan siang untuk anak istrinya saja? Atau menyimpan uangnya untuk dana-dana yang tidak terduga kelak?

Kenapa...?

Lalu saya mengerti. Mereka adalah Will Smith. Mereka memiliki impian, dan mengejar impian mereka tentang kebahagiaan mereka. Masing-masing. Seperti berdiri di tepi sebuah jalan, kebahagiaan letaknya di ujung jalan satunya. Tetapi jalan ini tidak akan ke mana, arahnya hanya kebahagiaan.

Semua orang hidup nyatanya untuk kebahagiaan. Meskipun kebahagiaan hanyalah konsep ideal. Saat kenyataan tak sesuai dengan harapan. Atau intuisi dasar manusia yang tidak pernah puas-lah yang menjadikannya demikian.
Jelasnya, tidak ada yang akan mendefenisikan kebahagiaan itu sebagai teori universal. Berlaku untuk semua umat. Kebahagiaan itu sangat relatif. Defenisi tiap individu, mengenai apa itu kebahagiaan, pasti berbeda. Pada akhirnya urusan kita hanyalah menatap lurus kebahagiaan, lalu mengejarnya.

PS. Biar tua, tetap rekomendasi: Pursuit of Happyness.

Tuesday, May 4, 2010

Alangkah Lucunya Negeri Ini (Sebuah Review)


Mencuri berarti mengambil hak orang lain. Ada banyak hal yang bisa dicuri. Serta ada banyak dosa untuk semua itu. Tapi berdosakah kita, kalau kita mencuri uang koruptor? Bukankah di sana ada hak kita.

Saya baru saja menghabiskan dua jam berkualitas dengan menonton satu film yang sangat bagus. Judulnya "Alangkah Lucunya (Negeri Ini)". Saya tahu film ini setelah dosen saya mereview secara tidak formal di kelas. Film ini salah satu karya Deddy Mizwar. Sejak saat itu saya berjanji pada diri saya sendiri, bahwa saya harus menontonnya. Saya menyukai semua produk sinematografi yang terdapat Deddy Mizwar di dalamnya. Kiamat Sudah Dekat, Para Pencari Tuhan, Naga Bonar, iklan komersial Yamaha, hanya sedikit yang saya tahu, tapi saya sangat mengagumi Pak Haji satu ini. Dan saya terkejut, ternyata Pak Haji baru saja menghasilkan satu karya baru.

Karya yang tak berkurang kualitas isinya. Sungguh lucu bagaimana sebuah film membuat saya menangis sampai mata saya bengkak, dan saya terlalu malu untuk turun ke eskalator. Ya, film itu memang seserius itu. Serta di saat yang sama, selucu itu.

Kisahnya mengenai sarjana yang sedang mencari kerja bernama Muluk. Ia menyaksikan sekelompok copet beraksi di sebuah pasar. Dan ia merasa tersinggung, bagaimana mungkin ada orang yang demikian mudah mendapatkan uang, dan dia sudah dua tahun mencari kerja.

Tetapi Muluk terinsipirasi dengan pertemuannya dengan sang koordinator copet pasar (Komet), dan bermaksud menjadikannya dunia percopetan ini ladang bisnis. Demikianlah kisahnya berlanjut. Muluk mendidik para pencopet itu dengan pancasila dan rukun islam. Cita-citanya adalah membuat mereka tak lagi bekerja sebagai pencopet. Ia pun memanggil dua teman untuk membantunya. Syamsul (sarjana pendidikan yang tidak yakin tentang pentingnya pendidikan). Dan Pipit (gadis yang tiap saat mengikuti kuis-kuis berhadiah di tv).

Saya tidak tahu siapa yang menulis skenarionya, saya tidak sempat memperhatikan kredit film itu karena harus mengatasi kesedihan. Penulis skenario itu sungguh luar biasa. Ia menyelipkan sindiran-sindiran dengan sempurna. Semuanya sesuai, kelewat sesuai, dengan kondisi negara kita.

Sarjana pengangguran, pencopet, calon wakil rakyat, penyalur TKI, peramal nasib. Seperti menjadi cat akrilik dalam selembar palet kayu, dan penulis serta sutradara melukiskannya pada sebuah kanvas yang dijudulinya "Alangkah Lucunya".

Sebuah lukisan yang ironisnya, berbeda dengan judulnya, justru patut ditangisi. Tidak ditertawai.

Tetapi saya yakin saya, Nita, Indah, dan Rahma (yang sore itu menonton), sama sekali tak tertawa. Kami miris mendapati lukisan itu telah sempurna merangkum fakta-fakta yang ada di negeri ini.

Yang membuat saya lebih sedih lagi, yaitu film ini baru sekitar dua minggu sejak rilis, dan sekarang sudah berada di studio empat. Lalu saya sadar, ini salah satu kelucuan negeri yang saya huni.

Saya harus tertawa karena orang-orang telah melewatkan film sebagus ini. Kalau saja semua orang memiliki pemahaman yang sama tentang film bagus. Saya bahkan menyesal tak menontonnya lebih awal. Saya bersyukur siang ini kami mengunjungi toko buku, lalu ingat janji saya pada diri sendiri untuk menonton "Alangkah Lucunya".
Sungguh teman, ini film yang sangat berkualitas. Kalian tidak akan rugi dua jam karena menontonnya.
Foto: Citra Sinema