Wednesday, December 29, 2010

Ngapain di Jogja?

"Ambil apa di Jogja?"
Ambil nafas hendak menjawab.
"Riset."
Bukan saya yang jawab.
***
"Mauki apa di Jogja?"
"Mau ke perpus UGM."
Lagi-lagi mulut saya masih tertutup.
***
"Kenapa cepat sekali pulang?"
"Demi saya tawwana."
Siapa yang ngomong barusan?
***
"Apa tabikin di Jogja?"
"Fotokopi." ujar saya cepat, sebelum diwakili menjawab lagi.
"Dan liburan!"
23-27 Desember 10, di kota tua.
Saat menemukan pintu dan sebuah kunci.

Monday, December 20, 2010

Ekspor Pahlawan Devisa

Endorsement: Tulisan ini saya kirim ke Tribun, dan tidak dimuat. Daripada saya meratapi nasib, lebih baik saya membagi gagasan pada pembaca blog ini yang rada-rada abstrak.

Ekspor Pahlawan Devisa
Siapa yang tidak tergiur kerja di luar negeri: persyaratan tidak rumit, pendidikan tidak perlu tinggi, kemampuan umum, tempat tinggal dijamin, gaji setara dengan pegawai negeri sipil, bisa jalan-jalan pula. Ini belum termasuk kesempatan haji kalau diterima kerja di Arab Saudi. Sementara haji bisa dikatakan telah menjadi semacam tujuan utama bagi mayoritas umat Islam di Indonesia.

Dipandang dari segi manapun, bagi masyarakat Indonesia yang awam, tentu saja kerja sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) itu menguntungkan. Apalagi lapangan kerja di Indonesia belum mewadahi mereka yang berpendidikan rendah. Indonesia telah membuka peluang kerja bagi masyarakat dengan pendaftaran CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil), namun pendaftaran CPNS sendiri meliputi berbagai kebutuhan yang sukar. Sebutlah pendidikan. Kenyataannya, di Indonesia masih ramai orang dengan taraf pendidikannya rendah (baca: lulus SD). Benar ada lapangan kerja untuk mereka yang berpendidikan rendah, namun gaji juga rendah. Untuk kehidupan sehari-hari saja sulit dengan gaji tersebut, bagaimana dengan masa depan? Sementara setiap manusia pasti mengharapkan masa depan yang lebih baik. Masa depan di mana bisa menikmati hidup dengan sejahtera.

Tidak heran jika ada tawaran kerja --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--sebagai TKI, maka masyarakat awam kita menyambutnya bagai peluang emas.

Banyak yang menuai sukses dengan bekerja di luar negeri. Beberapa warga di dusun Assarajangge, desa Baringeng, Libureng-Bone adalah sekelumit dari eks-TKI yang berhasil bekerja di Arab Saudi. Bangunan rumah mereka permanen dan mewah dibandingkan warga sekitar, mereka mulai beternak sapi dan memiliki sejumlah tanah untuk perkebunan, serta yang paling membuat iri masyarakat desa adalah label haji di depan nama mereka.

Di samping itu, TKI yang berada di negara lainnya seperti Hongkong, Jepang, dan Australia juga mendapat gaji yang tergolong besar. Pekerjaan seputar menjaga bayi dan pembantu rumah tangga tidak menghalangi para TKI bahkan untuk melanjutkan pendidikan.

Perlu menjadi catatan pula, selain individu TKI yang diuntungkan, negarapun terpercik manfaat ‘ekspor’ TKI. Tercatat pada tahun 2007, uang yang dikirim dari pekerja migran atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri ke Indonesia itu nilainya sebesar US$. 480 milyar. Jumlah ini tiga kali lipat lebih besar dari investasi langsung negara maju ke Indonesia. Dan ini merupakan devisa bagi negara Indonesia (www.bnp2tki.go.id). Tentu saja angka itu terus meningkat seiring populernya keuntungan pekerjaan ini di kelas SES menengah ke bawah. Sehingga wajar jika TKI diberi julukan ‘Pahlawan Devisa’. TKI --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--telah menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia.

Di balik bahagia selalu ada derita, mungkin idiom ini tepat bagi nasib TKI di luar negeri. Selain ada TKI yang untung, ada pula TKI yang buntung. Buntung yang dimaksudkan bukan merupakan konotasi, melainkan denotasi. Karena beberapa kasus menunjukkan TKI mengalami penganiayaan yang luar biasa dari para majikan mereka, khususnya TKI Arab Saudi.

Baru-baru ini masyarakat digemparkan lagi oleh pemberitaan media mengenai Sumiati, TKW Arab Saudi yang disiksa oleh majikannya. Ia pulang ke Indonesia karena tidak sanggup lagi meneruskan kerja di Arab Saudi dengan perlakuan buruk sang majikan. Luka-luka di wajah dan sekujur tubuhnya menunjukkan ia telah mengalami penyiksaan yang parah. Menakertrans, Muhaimin Iskandar, kembali dibuat pusing atas kasus ini. Kasus ini memang bukan yang pertama, bahkan sudah sering terdengar gaungnya, akan tetapi kasus serupa selalu saja berhasil menyinggung rasa kemanusiaan kita.

Kembali, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi diminta mengajukan nota kesepahaman atau MoU (Memorandum of Understanding) dengan Arab Saudi. Kembali, masyarakat berdemo meminta kasus Sumiati diusut sampai tuntas. Kembali, Menteri Tenaga Kerja diminta mengevaluasi pihak swasta yang menyalurkan TKI.

Indonesia seperti tidak pernah bosan mengulangi kesalahan yang sama.

Swasta: Penyalur Pahlawan
Perusahaan Swasta mencuat sebagai biang kerok. Ucap Muhaimin Iskandar, swasta-lah yang seharusnya bertanggung jawab atas perlindungan TKI, pemerintah hanya sebagai back-up.

Mulanya, swasta-lah yang maju untuk menyalurkan TKI, sejak pemerintah selalu gagal meneken nota kesepahaman dengan Arab Saudi. Perusahaan swasta yang melakukan perekrutan--this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--, pelatihan, hingga penempatan bagi warga Indonesia yang menjadi TKI. Pemerintah berperan sebatas pemberi izin operasi bagi perusahaan swasta.

Mengenai adanya kasus penganiayaan di lokasi, tentu bukan merupakan niatan perusahaan swasta. Tetapi tetap saja, swasta yang disalahkan. Ini ironi dengan fakta, bahwa yang berjasa atas penyaluran pahlawan devisa negara adalah pihak swasta sendiri. Pemerintah pasti menyadari fakta ini.

Tentu berat bagi negara untuk membatasi penyaluran TKI, sekalipun tren kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap TKI diakui meningkat, karena lagi-lagi TKI adalah pahlawan devisa kita.

Isu Lain
Bukan hanya isu kurangnya lapangan kerja yang menjadi latar belakang tingginya ekspor pahlawan devisa alias TKI. Ada isu lain yang bisa diangkat dalam fenomena ini. Salah satunya dan paling krusial adalah isu pendidikan. Pendidikan masyarakat yang tidak tinggi menjadi kausal ekonomi masyarakat yang lemah. Demikian pula, ekonomi masyarakat yang lemah membuat pendidikan mereka tidak cukup tinggi.

Di negara manapun itu, rendahnya pendidikan tidak menjamin posisi seseorang. Sehingga di Indonesia, masyarakat membutuhkan metode tertentu untuk meraih posisi yang mereka inginkan. Salah satu metode yang paling menggiurkan, dengan runut alasan yang telah disebutkan di atas, adalah dengan menjadi buruh migran alias Tenaga Kerja Indonesia.

Pemerintah harus menyadari pentingnya pendidikan bagi masyarakat, untuk menjadi negara yang lebih bermartabat. Langkah yang ditempuh dapat dimulai dari penyadaran kepada masyarakat tentang urgensi pendidikan. Karena --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--betapapun pendidikan telah disubsidi negara, jika masyarakat belum tiba pada kesadaran urgensi pendidikan, subsidi tersebut tidak akan maksimal pemanfaatannya.

Jangan sampai, pemerintah larut dalam angka-angka tingginya devisa dan menikmati ekspor pahlawan devisa. Kita tentu tidak mau mahsyur dengan julukan negara penyalur TKI, karena jika TKI kita masih saja membludak, itu bisa mengindikasikan banyak hal, yang antara lain adalah: kebodohan.

Maros, 9 Desember 2010

Rating, Kiblat Buta Televisi Pendidikan Indonesia

Endorsement: Opini ini dimuat di Harian Tribun Timur pada November 6th 2010 lalu. Tapi tidak akan pernah diterbitkan via Tribun Timur online. Opini inilah yang membuat saya sengsara, berantem sama Pak Aswar, hampir dapat E (yang kalau saya dapat E, ini yang pertama, lebih baik saya berhenti kuliah, jadi tukang becak saja), disindir sana-sini sama dosen. Betul-betul opini yang tidak membanggakan.
Namun, semua kesulitan yang ditimbulkan opini ini telah berlalu, jadi saya berani menampilkannya di blog ini.

Rating, Kiblat Buta Televisi Pendidikan Indonesia

Rating, (Katanya) Jaminan Ekonomi
23 Januari 1991 tentu menjadi tanggal yang bersejarah bagi industri pertelevisian Indonesia. Pada tanggal tersebutlah, stasiun televisi swasta mengudara secara nasional untuk pertama kalinya. Stasiun televisi tersebut adalah TPI. Berbekal surat izin dari Departemen Penerangan, TPI mengudara secara resmi dengan pola empat jam setiap hari.

Kita mungkin masih bisa mengingat, sekalipun tidak cukup jelas, program-program yang disiarkan TPI pada awal-awal berdirinya. Pada masa siaran perdana tersebut, sesuai misinya TPI –Televisi Pendidikan Indonesia, hanya menayangkan siaran edukatif yang ditargetkan kepada siswa Sekolah Menengah. Salah satunya dengan bekerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyiarkan materi pelajaran pendidikan menengah. Karena animo masyarakat yang cukup tinggi, sejak 1 Juni 1991, durasi siaran TPI meningkat menjadi 6,5 jam. Lalu menjelang akhir 1991 ditingkatkan lagi menjadi 8 jam.

Sistem penyiaran TPI pada tahun 1991 sampai tahun 1997, adalah berbagi saluran dengan televisi nasional TVRI. Setelah berpisah saluran dengan TVRI, TPI mulai lebih banyak menayangkan program-program yang menghibur. Tentu saja program ini diharapkan bisa menggaet penonton, untuk meningkatkan rating, yang kemudian mendatangkan pengiklan. Dengan demikian, ekonomi perusahaan dapat terjamin, sedikitnya sampai BEP (Break Even Point). Untuk dapat ‘bertahan hidup’ dalam persaingan pertelevisian, TPI memang harus melakukan hal--this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article-- tersebut.

Hal di atas bisa dikaitkan dengan liberalisasi industri pertelevisian Indonesia pasca Reformasi. Kebebasan adalah acuan. Termasuk kebebasan dalam persaingan. Persaingan penggaetan penonton menjadi demikian ketatnya. Pengiklan hanya melirik stasiun dengan penonton terbanyak. Inilah yang disebut dengan sistem rating, yaitu tolak ukur kuantitatif pemirsa, yang menjadi kiblat para pelaku industri televisi.

Gejala yang muncul sejak stasiun televisi swasta pertama ini menayangkan tayangan hiburan, adalah kecenderungan tujuan entertainment lebih mendominasi daripada tujuan information, bahkan education mulai terlupakan. TPI seakan lebih fokus pada program-program hiburan, seperti program musik, dan opera sabun. Tentu saja hal ini ironi dengan nama tengah stasiun tv ini: pendidikan.

Walhasil, rating TPI meningkat sejak saat itu. Minat masyarakat pada program hiburan memang lebih besar daripada minat pada program berbau pendidikan. Berdasarkan survey AC Nielsen, di tengah persaingan industri pertelevisian yang semakin ketat, TPI berhasil mencapai posisi pertama dengan 16,6% audience share pada April 2005. Yang menjadi --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--pertanyaan kemudian, jika rating adalah kiblat, mengapa terjadi kemunduran ekonomi dalam perusahaan televisi ini?

Rebrand
Pada pertengahan 2010, terjadi pertentangan antara Siti Hardiyanti Rukmana, atau Mbak Tutut, dengan Hary Tanoesudibyo atas kepemilikan saham PT Cipta Citra Televisi Pendikan Indonesia (TPI). Hary Tanoesoedibjo selaku CEO MNC, bersikukuh sebagai penguasa mayoritas saham TPI dengan total saham sebesar 75 persen. Sementara di waktu yang sama Tutut juga mengklaim dirinyalah sebagai pemilik sah saham mayoritas sebagaimana diakui negara lewat akta Kementerian Hukum dan HAM.

Alih-alih berputar dalam perseteruan, Hary Tanoesudibyo selangkah lebih maju, ia tiba pada keputusan untuk --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--rebranding TPI menjadi MNCTV, bukan hanya membentuk brand image seperti yang selama ini dilakukan TPI. Pada tanggal 21 Oktober 2010, resmilah TPI berganti nama menjadi MNCTV. Dalih MNC, rebranding ini dilakukan demi tujuan komersil.

Dari peristiwa ini, lagi-lagi kita bisa menemukan sebuah ironi. Kalaupun benar bahwa TPI tak lagi menyajikan tayangan pendidikan, mengapa Hary Tanoesudibyo bukannya mengganti –atau mengembalikan, image pendidikan saja? Malah mengganti nama stasiun. Kenapa mengganti nama TPI menjadi sangat krusial bagi pemilik saham? Apakah benar bahwa embel-embel pendidikan tidak lagi komersil?

Publik, Rating dan Kondisi Negara
Dalam manajemen media dari perspektif ekonomi, sebuah stasiun sangat dipengaruhi oleh kepemilikan, pengiklan, dan aspirasi publik. Kepemilikan berkaitan dengan pemilik modal, tentu saja tanpa pemilik modal atau pemegang saham, sebuah stasiun tidak akan lahir. Tetapi pemilik modal ini tidak hanya berhenti pada memberikan modal saja, ia menuntut feedback yakni iklan. Iklan sangat dibutuhkan sebuah stasiun demi masa depan bisnis. Ada atau tidak adanya pemasangan iklan sangat bergantung pada aspirasi publik. Dengan kata lain, bangkit tidaknya sebuah usaha media sangat bergantung pada khalayak (Sumber: Kuliah).

Rating TPI yang tinggi merefleksikan siapakah khalayak di Indonesia. Dan apakah yang diminati oleh khalayak ini. Kita bisa melihat tayangan-tayangan --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--TPI yang menawarkan hal-hal mistis, utopis, klenik, serta tayangan (maaf) remeh-temeh lainnya. TPI sebagai media yang pernah berjaya dengan nama tengahnya ‘pendidikan’, malah berbalik membodohi masyarakat dengan menyiarkan program-program yang melemahkan daya juang mereka dalam kehidupan. Sebutlah opera sabun yang menceritakan keinginan seseorang bisa terpenuhi dengan bantuan mistis berupa lampu ajaib, atau naga yang tiba-tiba lewat entah dari mana asalnya.Tayangan seperti ini memberikan reinforcement pada masyarakat untuk terus bermimpi, berharap pada sesuatu yang tidak realistis.

Jika kondisi masyarakat kita terus seperti ini, dan rating masih tinggi juga, media haruslah mengambil peran untuk mengagenda settingkan masyarakat. Karena pada dasarnya media punya kekuatan luar biasa untuk membangun suatu bangsa dan memberikan arah ke mana mereka harus melangkah. Pers dapat memberikan semangat, mendukung perubahan, dan memobilisasi masyarakat untuk suatu tujuan (Mulyana, 2008).

Dapat disimpulkan, untuk mengimbangi kepemilikan, pengiklan, dan publik –yang sangat mempengaruhi manajemen media, media harus dikuatkan dengan kompetensi (pendidikan expertising dan skill), profesionalisme (kode etik), serta idealisme media –komitmen yang melahirkan integritas.

Bukan zamannya lagi media masih dikendalikan oleh khalayak. Kita berharap, MNCTV bisa menyadari realitas ini dan tidak lagi meninabobokan masyarakat. Jika rating tinggi tidak l--this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--agi menjamin masa depan bisnis sebuah stasiun, mari berharap pada idealisme. Bukankah dari niat yang baik akan diikuti oleh kebaikan?[]
Maros, 11110

Analisis Framing Berita Media Indonesia: Menaker Kelimpungan

ANALISIS FRAMING ISU PELANGGARAN HAM TKI DI ARAB SAUDI
PADA KORAN MEDIA INDONESIA

FRAME MEDIA INDONESIA: TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Koran Media Indonesia menurunkan laporan mengenai kekerasan yang dialami Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi pada edisi Selasa, 23 November 2010. Laporan itu berada pada halaman depan, menjadi kepala berita pada edisi terkait dengan judul “Menaker Kelimpungan”. Berikut analisis mengenai bingkai Media Indonesia beserta kecenderungannya.

Kategorisasi: Pemerintah-Swasta. Fenomena kekerasan terhadap TKI yang akhir November lalu kembali mencuat di pemberitaan media, dibingkai Media Indonesia dengan sub-framing tanggung jawab pemerintah. Ini bisa dilihat dari judul headline Media Indonesia “Menaker Kelimpungan”. Kata ‘kelimpungan’ bisa mewakili maksud Media Indonesia bahwa seseorang berada dalam situasi yang sulit, namun tetap mengerahkan pikiran dan tenaganya untuk penyelesaian suatu masalah. Judul ini menggambarkan daya dan upaya yang diperbuat oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, untuk mengatasi kasus pelanggaran HAM terhadap TKI.

Laporan Media Indonesia dibuka dengan kalimat: “Nasib tenaga kerja Indonesia, khususnya yang bekerja di Arab Saudi, masih suram.” Klausa ‘Nasib TKI Masih Suram’ menggambarkan saratnya penderitaan yang dialami TKI, pernah dan sementara berlangsung. Hal ini tentu terkait dengan isu kekerasan terhadap TKI di Arab Saudi. Negara yang ungkap Media Indonesia, tak pernah mencapai MoU (Memorandum of Understanding) dengan negara manapun. Tidak adanya MoU perlindungan TKI menjadi pembelaan Media Indonesia terhadap pemerintah, bahwa tidak ada dasar legitimasi yang bisa membuat pemerintah bertanggung jawab atas keselamatan TKI.

Gagalnya nota kesepahaman antarnegara tersebut melatarbelakangi majunya perusahaan swasta untuk menyalurkan --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--TKI ke Arab Saudi, tulis Media Indonesia dalam laporannya. Namun demikian, setelah proses penempatan, swasta lepas tanggung jawab atas TKI. Ketika kekerasan terjadi pada TKI, pemerintah-lah yang ‘kelimpungan’.

Pemerintah dilabeli Media Indonesia dengan julukan “ujung tombak”, yang mengarah pada asumsi bahwa pemerintah merupakan satu-satunya harapan atas penyelesaian masalah ini. Sementara itu pihak swasta penyalur TKI, dalam laporan Media Indonesia, dituding sebagai sumber masalah dengan mengutip Muhaimin Iskandar yang menjuluki swasta sebagai “biang kerok”, lepas tanggung jawab atas perlindungan TKI.

“Alih-alih membuat jurus jitu, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar malah menunding pihak swasta yang menjadi biang kerok munculnya kasus kekerasan yang mendera TKI.”
Melalui label “biang kerok”, Muhaimin mengajak masyarakat untuk memusuhi perusahaan swasta penyalur TKI. Swasta harus diberi sanksi bahkan disingkirkan, berikut laporan Media Indonesia dengan mengutip Muhaimin Iskandar.

“Ia menilai kinerja swasta penyalur TKI di Indonesia sangat buruk. Sejak rekrutmen, pelatihan, hingga penempatan kerap menyalahi prosedur yang ditetapkan kementeriannya. Karena itu, pihaknya akan menjatuhkan sanksi bagi swasta yang tetap membandel mulai dari pemberhentian operasi sementara hingga pencabutan izin”

Dari kategorisasi ini, terlihat pernyataan Media Indonesia melalui Muhaimin Iskandar yang mengisyaratkan pihak swasta penyalur TKI sebagai musuh bersama. Swasta bersalah atas kasus demi kasus penyiksaan sampai pembunuhan TKI. Yang seharusnya bertanggung jawab adalah swasta, sementara pemerintah hanyalah sebagai back up. Kata back up merupakan penekanan bahwa sejak awal, pemerintah bukanlah pihak yang bertanggung jawab. Penempatan dan perlindungan merupakan tanggung jawab pihak swasta.

Selain itu, untuk mendukung pandangannya bahwa pemerintah telah berdaya upaya untuk menanggulangi kasus kekerasan ini, Media Indonesia memaparkan tabel bertajuk “Reaksi Pemerintah Atasi TKI” yang mencakup enam poin: 1) Membentuk Tim Khusus di Bawah Kementerian Luar Negeri 2) Membentuk Tim Gabungan 3) Membentuk Tim Advokasi 4) Presiden mengusulkan pemberian ponsel kepada para TKI 5) Draf MoU Menakertrans.

Pelengkap pandangan Media Indonesia adalah foto yang terdapat di bawah judul kepala berita. Foto tersebut menggambarkan sejumlah demonstran yang menggantung kertas di leher mereka bertuliskan: “Adili Penyiksa TKI”, --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--“Tindak Tegas Pelanggar HAM TKI”, dan lain-lain. Di depan para demonstran tersebut terlihat keranda mayat yang ditutup kain hitam dan ditaburi bunga. Foto tersebut diberi judul: TUNTUT KETEGASAN PEMERINTAH, dengan keterangan:
Massa yang tergabung dalam Serikat Buruh Migran Indonesia berunjuk rasa di Jakarta, kemarin. Pengunjuk rasa mendesak pemerintah menghentikan sementara pengiriman TKI ke negara-negara Arab hingga mereka menjamin keselamatan jiwa para TKI.

Foto tersebut berbicara mengenai pandangan masyarakat, dalam hal ini Serikat Buruh Migran Indonesia, bahwa pemerintah merupakah tokoh utama dalam fenomena ini. Pihak yang harus bertindak dan bertanggung jawab atas apa yang menimpa TKI di Arab Saudi. Hal ini berlawanan dengan pandangan Media Indonesia melalui Muhaimin Iskandar, bahwa swasta-lah yang harus dituding, disalahkan.

Dengan demikian, laporan Media Indonesia menjadi jawaban atas foto tersebut. Pemerintah, dari pandangan Media Indonesia, telah reaktif mengatasi kasus pelanggaran HAM ini. Di lain pihak Media Indonesia menegaskan pada demonstran bahwa pihak --this article is a copy of kindasoup.blogspot.com works, if you don't erase this, it means you don't manage to read entire article--bertanggung jawab atas kasus ini semestinya adalah swasta semata. Pemerintah yang mulanya sebagai ‘back up’ malah berbalik menjadi pihak yang menangani kasus ini.

Namun, tidak ada penjelasan yang didapatkan Media Indonesia dari pihak swasta yang dilabeli ‘biang kerok’. Media Indonesia menyingkirkan fakta bahwa swasta telah menyalurkan TKI, dan TKI telah menjadi sumber devisa terbesar Indonesia. Fokus laporan adalah pada swasta yang lepas tanggung jawab, dan hadirnya pemerintah sebagai penengah.

Motif di balik berita atau laporan Media Indonesia ini bisa jadi merupakan upaya preventif kepada masyarakat agar tidak lagi mempercayai swasta sebagai penyalur TKI. Lebih jauh dari sekedar tuntutan untuk mengatasi pelanggaran HAM. Dibutuhkan langkah pencegahan sehingga masyarakat tidak terperdaya tawaran bekerja di luar negeri. Oleh karena itulah Media
Indonesia menggunakan label “biang kerok” pada swasta. Inilah sisi pemberitaan yang berusaha ditonjolkan oleh Media Indonesia.

*analisis ini menggunakan model Murray Edelman. Buat yang belum tau
**dengan pedenya saya memposting analisis framing ini, yang ancur-ancuran dan belum direvisi lagi sama kak asdos.

Sunday, December 12, 2010

Beautiful Series & Movies

To prevent my self from getting overly stressed out, i watched some wonderful movies and series, which i recommend to you guys. Worth your time!
This series produced by BBC, another adaptation of Jane Austen's Emma. It's the most beautiful adaptation out of the four. I was addicted to Ginny's Market dance.
I just have the copy of the movie, and i love the movie, as i love my book (that i've lost). I think it will be cool if i have a night fury in my lawn.
Another great work of Dreamworks. When movies all talk about heroes, Despicable Me come out with villains. Love it. Agnes and the minimons are too cute to be true :)
Daisy (romanization). Beautiful movie. Bring tears and pains. :'(
*did I say beautiful movies and series? And all I introduced to you was cartoon? So sorry, I've got a different terminology for this :P

pictures from various source

Wednesday, December 1, 2010

Dear One

Dear one, who-couldn't-be-addressed
Recently she contemplates about how you might feel about her, of how she behaves to your proposal. She hopes you weren't disappointed, or hated her then. An odd imagination comes to her mind, that you will somehow despair about her decision, and it's the last situation she prays to be happened to you.
She, herself, going through bitter regrets of all this. You wouldn't have any idea of miseries she committed after she made up her mind. Such a pain to refuse you, indeed, a faithful, intelligent, respectable and noble man like you. For you've been, and you will always be a superior man that she wishes for. A man that she shall not do any consideration when it's coming to ask her hand. At a right place and time.
And there you were. Stood and saw her so suddenly. But how come she can't feel the serenity, the sufficiency? She feels doubt thousand times. She feels anxious about her life matter.
Later, she started to understand, you appear when she has no need for your appearing.
So, she tells you secrets: she newly fond of her occupation. Right now, the very moment when she almost finished her own endeavor. She always have picture in her head about the ideals, how things ought to be. You should not present at this time, it's the ideal.
Please don't think too lowly of her. She regrets that you come not at the good time.
And she's sorry. Uncommonly sorry for the refusal.
Dear one, she wishes you a very happiness in your life.

Don't Blame The Window

Lately, we make a big fuss, such annoying noise about framing analysis. Which is right: the perspective of positivist, or constructivist. We wonder why was reality treated as bricks. We question about interest, politic and economy. We mind the conspiracy.
--------And I must say: whatever it might be, I won't mind being framed, indeed.
Look, if this a house that we live in, a 'frame' should be the window (says Riza Darma Putra Quoting Tuchman) . When you beheld the outside (realities), you must find limitation, at how the window serve it for you. Is the window too small, is it too wide? Is the window clean enough, is it dusty?
Accept the circumstances of the window. As a matter fact, the only way left to us that we could monitor the outside is: approach the window, and see what behind it. If only you could be ignorant about the weather, then don't even open the curtain. And if only you want to be comprehensive about understanding the outside, then have a walk to another window, have another sight of the outside.
Don't blame the window for its condition.