Friday, May 27, 2011

Lucu Sekali, Takdir. Lucu Sekali.

Tidak banyak yang tahu tentang kenapa akhirnya saya memilih mendaftarkan diri di IELSP, saat deadline bahkan tak cukup seminggu lagi. Untuk orang-orang terdekat saya, saya memohon agar rahasia ini tetap jadi milik kita. Toh, Da Vinci sampai sekarang sukses mempertahankan rahasia dalam senyum salah satu lukisannya.
*
Tapi di atas segalanya, saya lulus IELSP, menjadi grantee cohort 9. Dan besok saya akan berangkat ke dunia yang sama sekali berbeda itu: Ames, Iowa, US. Sebenarnya saya masih akan duduk berlama-lama di sini, merenung tidak mengerti mengenai cara sang Takdir bekerja.

Saya tidak mengerti.
Sungguh. Saya tidak mengerti.

Semua orang, saya harus bilang: semua orang mengharapkan saya lulus 'cepat'. Dengan SKS yang sudah overload, IPK, dan metode penelitian yang jelas, saya bisa memenuhi harapan mereka. Namun Takdir menarik saya di suatu pagi ke depan komputer, mendownload form beasiswa. Sejak hari itu harapan-harapan tak pernah sama lagi. Lucu sekali menurut saya, progres cara kerja Takdir.
*
Lalu, apakah yang menanti lagi setelah ini? Saya tidak pernah tahu. Saya tidak akan menebak. Saya sedang menikmati permainan Takdir yang sungguh tidak terduga. Ternyata beginilah Allah memeperlihatkan kita kuasa-Nya, bahwa manusia selalu bisa memiliki rencana, dan Allah yang menentukan. Allah yang menetapkan.

Subhanallah, walhamdulillah, wallahu akbar!

Tuesday, May 24, 2011

Bagaimana kalau stress saja jadi suvenirnya?

Keberangkatan ke Ames ini benar-benar menguras tenaga dan pikiran saya. Kalau saja saya tidak kepikiran squirrels dan aurora borealis, tentu saya sudah nyerah lantaran stressnya mikirin semua persiapan.
Salah satu persiapan adalah suvenir buat teman-teman di US nanti. Sudah beberapa hari saya stress mikir yang satu ini, sampai akhirnya saya tercerahkan, bahwa sesuatu bernama stress tidak mungkin jalan sendiri ke Jl. Somba Opu untuk saya.
Maka kemarin saya memutuskan jalan ke Jl. Somba Opu, setelah minta Ewi menemani saya.
*
Sebenarnya saya selalu suka ke Jl. Somba Opu. Jalan ini memberikan perasaan Makassar yang kuat. Terakhir saya ke sini adalah tahun lalu, saat saya, Aba dan Ummi mencari Kecapi -semacam alat musik khas Sulawesi. Tahun lalu saya senang sekali. Sekarang saya juga senang, tapi diiringi stress dan kegelisahan tiada tara.
Setelah berjalan muter-muter di sana, sambil disahuti "Aisyah! Aisyah!" sama orang-orang akhirnya saya menemui item-item ini:
Key Chains alias gantungan kunci. Ini buat teman-teman. Bahannya dari kayu yang dibentuk jadi badik lompo battang, badik biasa, rumah panggung, tongkonan, sama perahu phinisi.
Sarung tenun Bulukumba. Sarungnya ini beraroma jeruk lho. Kata mbak yang jual, benang tenunnya dikasih sesuatu yang dia juga tidak ngerti. Sampai sekarang saya masih merasa ini ajaib. Saya rencana kasih sarung ajaib ini ke dosen, meski nanti kalau saya ditanyai, saya akan bingung sendiri menjelaskan.
Yang ini adalah sarung tenun Sengkang. Populer juga kan di Sulawesi. Apalagi warnanya yang menyala dan benang warna emasnya. Ini bagian Chaperone saya nanti. Semoga dia suka :)
Songko' to Bone. (Lagi-lagi emas, lama-lama saya bisa buta karena semua emas ini. :D) Benar-benar sulit mencari nomer kepala yang besar, berhubung yang pake nanti native. Sampai pemilik toko turun tangan juga bantu kami berdua.
Miniatur kapal phinisi. Sebenarnya saya selama ini masih belum tau apa yang membedakan -benar-benar membedakan, kapal phinisi dan kapal layar biasa. Saya taunya, Phinisi itu tidak pake paku buatnya -iya nda sih?
*
Segera setelah saya membeli semua barang-barang itu, saya stress lagi bagaimana menempatkannya dalam koper. Ya Allah, kapan stress saya berakhir T.T

Tuesday, May 17, 2011

Harubiru

Sudah cukup lama saya tidak ngerti, kenapa haru harus biru. Kenapa bukannya merah, ungu, putih, atau kelabu? Saya pelan-pelan memahami dari suara-suara yang saya dengar saat penutupan Islamic Weekend FISIP Ahad lalu (sebuah kedok pesantren mahasiswa yang diinggris-inggriskan biar terdengar keren, dan entah sejak kapan bahasa kolonial itu jadi keren).

"Kita menutup acara Islamic Weekend ini dengan ucapan hamdalah"

Luar biasa haru yang saya rasakan, sampai perasaan saya membuncah, ingin menangis karena haru. Begitu saya angkat kepala, entah kenapa semua begitu biru, begitu damai. Akhirnya agenda dengan kami sebagai panitia die hard ini, usai sudah.
*
6 tahun silam, saya pernah memimpikan menyelenggara peskil, pesma, atau semacam kegiatan malam bina iman taqwa yang penuh dengan tausiyah. FKI mewujudkan mimpi saya. Tapi sungguh jauh dari apa yang saya bayangkan, ternyata peskil-pesma-mabit bukan hanya soal duduk mentausiyahi diri. Jauh lebih rumit dari itu. Kerumitannya sampai tak akan saya ceritakan ulang di sini, karena hanya akan membuat saya sedih.

Jelasnya saya belajar banyak dari kepanitiaan ini: mengenai prioritas dakwah, komitmen, kesabaran, kepercayaan, kemandirian dan keterasingan. Bagi saya yang terberat adalah yang terakhir. Agama Islam sejak lahirnya telah memiliki nama tengah "Jama'ah", itulah inti dari kehidupan Islam, kalau jama'ah ini tak ada, maka mungkin Islam telah sekarat. Ujian paling berat adalah saat jama'ah mulai tak rapi lagi. Ketika satu saudara kita meninggalkan shaf, sama halnya ketika sebuah tiang rumah panggung rubuh, shaf itu ompong, rumah itu pincang. Dan betapapun kita mencoba ikhlas, bekerja lillahi ta'ala, kita adalah makhluk sosial yang lemah. Merupakan keniscayaan kita merasa ada ruang yang tak terisi, ada energi positif yang pudar. Meski pada akhirnya begitulah Islam, kelak akan kembali dengan terasing, saat jama'ah pergi meninggalkannya sampai pada tahap ia tak lagi dikenali karena absennya jama'ah tersebut.

Saya menyadari bahwa kelak ujian akan lebih berat dari ini semua -ini cuma kepanitiaan biasa kok- semoga ujian semakin menguatkan dan bukannya malah melukai sampai cacat lalu lari.

Amiin ya robbal 'alaamiin...