Thursday, September 20, 2012

Tilburg: Chapter 2

Akhir-akhir ini saya sering merenung: sedikit sulit bagi saya membaca pertanda tentang
kenapa saya harus ada di sini?
apa yang saya lakukan di tempat ini?
apa gunanya saya ada di sini?
untuk apa saya melalui semua ini?

Masih kemarin saya hidup nyaman, berkumpul dengan keluarga dan sahabat terbaik, berada di bawah sinar matahari yang hangat, membaca buku yang saya suka, makan makanan yang saya mau, pergi ke tempat yang saya inginkan, melakukan hal-hal yang saya senangi.

Lalu perlahan semua itu menjadi sangat asing. Sedikit banyak saya mulai lupa, bagaimana melakukan hal yang kita kehendaki dan sukai.

Udara yang luar biasa dingin kadang menyergap saat saya tersenyum berbagi susah dengan kawan-kawan baru. Buku-buku yang kami bawa semua dalam bahasa yang asing bagi saya dan mereka. Saat berada di toko makanan, bagaikan mendengar dengking babi dari segala penjuru. Tiap akhir pekan hanya memiliki satu pilihan situs wisata: perpustakaan, untuk kembali mencoba tidak asing dengan segala bahasa keasingan. Kadangpun karena ingin jauh dari rumah yang mulai tak 'rumah'. Belakangan ini hidup sungguh berat.

Tapi, saya merasa beruntung. Sungguh beruntung. Allah telah memilih saya. Sepertinya saya sedang dikunjungi seorang pelatih, yang memberi saya macam-macam latihan. Hanya agar kelak, di pertandingan sebenarnya, yang jelas bukanlah latihan-latihan ini, saya bisa jadi pemenang.

Hidup bukanlah hidup saya melainkan ujian. Dan seperti kata seorang teman, kalau sudah dipilih Allah ada di sini, insyaAllah tidak akan ditinggal mati :)

Friday, September 7, 2012

Tilburg (Baca: Tilbukh) Chapter 1

Jadi memang benar bahwa kalau huruf 'g' mati dalam bahasa Belanda maka akan jadi 'kh', plus semacam suara dahak di tenggorokan, persis 'kha' saat baca Qur'an.
*
Alhamdulillah 16 hari sudah berlalu sejak saya menjejakkan kaki di tanah rantau: Belanda, tepatnya di kota Tilburg. Satu kali bersin dari Amsterdam, tiga kali kedip-kedip dari Belgium, dan sepuluh kali batuk-batuk ke Jerman. Dengan kata lain, kota ini tidak jauh dari berbagai tempat -yaiyalah, Belanda cuma seluas Sulawesi Selatan gini.
*
Sebenarnya saat berpisah dengan Ummi di bandara Sultan Hasanuddin adalah saat paling airmata dalam hidup saya. Seumur hidup saya tidak pernah berpisah lebih dari dua bulan dengan Ummi. Seraya memeluk saya erat, Ummi berkata "beranimu itu Nak, pergi ke sana..." dan meskipun saya takut, percayalah saya sungguh takut menghadapi segala hal yang tidak saya ketahui, saya menahan nafas dan bilang begini untuk menenangkan hati Ummi: "banyak laki-laki yang saya kalah berani, Ummi."

Tapi ternyata, saya bisa bilang begitu karena masih ada Aba yang menemani saya ke Jakarta. Saat berpisah dengan Aba di bandara Soekarno Hatta, semua material bangunberani saya runtuh. Seperti diterpa gempa bumi yang dahsyat. Saya sangat takut. Benar-benar takut. Di tengah air mata yang tak kunjung defisit, Aba berucap bijaksana:

"Teguhkan hatita, Nak, ini kan pilihan hidupta. Janganki tunjukkan kelemahanta, karena ada orang-orang yang bisa manfaatkanki kalau kita tampakkan kelemahanta."
"Tapi Ba, sendiri ka di sana." parau saya.
"Kan ada Allah, Nak. Allah yang temaniki."
 Itulah ucap Aba yang selalu saya camkan dalam kepala: ada Allah. Ada Allah.
*

Sebelum berangkat dengan Malaysia Airlines lewat gate D4 terminal 2 Cengkareng, saya bertemu dua ibu-ibu yang akan berangkat juga ke Belanda untuk menghadiri wisuda anak mereka. Saat itulah saya berjanji pada diri saya, di waktu yang sama, tahun depan, Aba dan Ummi juga akan bisa menghadiri wisuda saya. InsyaAllah.
*
Satu persatu judul-judul beasiswa itu saya coret dari daftar. Ada yang tidak lulus bulat-bulat. Ada yang sampai wawancara, tapi tidak hadir. Ada yang basa-basi "Anda belum beruntung" dan macam-macam kegagalan yang sebenarnya tidak pernah masalah buat saya. Bagi saya, selalu, segalanya sudah dirancang Allah dengan rancangan terbaik. Tugas saya adalah berusaha. Itu saja.

Tapi mungkin, pikir saya dalam satu kontemplasi saat tak ada lagi judul yang tidak tercoret, jika semua usaha gagal, saya mulai harus berpikir opsi lain. Membaca pertanda. Menebak rancangan Allah. Saat itulah saya mendapat email dari Eefje van lersel, seketraris international office Universiteit van Tilburg, bahwa saya mendapatkan beasiswa Tilburg University Scholarship for academic Excellence.
*

Tibalah saya pagi-pagi buta di Amsterdam. Dengan modal dua koper kecil, ransel, dan tas jinjingan, saya menunggu Mbak Dian. Mbak Dian adalah public relation for international student suatu agensi sewa rumah bernama Kamerbemiddeling. Dia akan mengantar saya ke Tilburg hingga ke akomodasi, alias rumah yang bakal saya tinggali. Tapi saudara-saudara, saya sempat disorientasi karena tidak menemukan Mbak Dian. Saya mulai mengamati petunjuk-petunjuk di bandara Schipol. Berpikir naik kereta api.

Entah kenapa, sering terjadi dalam hidup saya, saat saya merencanakan sesuatu hal, tapi satu hal itu agaknya tak bisa dijalankan lalu saya mulai berpikir opsi lain, tiba-tiba saja rencana awal itu kembali ke jalurnya. Seperti Allah hendak menunjukkan kuasaNya.
Hal yang sama saat saya tak lulus IELSP Cohort 7, awalnya semua terasa salah, tapi kemudian saya mencoba lagi di Cohort 9 dan Allah meloloskan saya.
Hal yang sama terjadi saat saya ingin jadi lulusan terbaik, sepertinya tidak mungkin karena saya kuliah empat tahun lebih, tapi Allah tetap menjadikan saya lulusan terbaik sefakultas.
Hal yang sama saat saya merasa ingin presentasi depan kedutaan Amerika, tapi cuma 5 besar, saya minder duluan tapi rupanya Allah menjadikan saya 5 besar itu. Bahkan salah satu pemenang.
ALLAHU AKBAR!
Hal yang sama juga terjadi hari itu. Mbak Dian tidak muncul, saya sudah berdiri dari kursi dekat elevator, persis anak hilang yang dengan soknya berjalan ke stasiun kereta bawah tanah Schipol, lalu seorang perempuan Indonesia yang sudah kebelanda-belandaan mencegat saya dan berkata "kamu Raidah?"
--To be continued.