Sunday, April 28, 2013

Solo (and lost) Traveller: Result and Discussion (1)

Bulan lalu di waktu yang sama saya sedang terlunta sendiri, kurang lebih enam jam sudah menumpang kereta regional Jerman dan belum pula sampai di kampung halaman, Tilburg. Harusnya saat itu saya takut, sedih, dan kesepian. Tapi yang menguasai kepala saya kala itu adalah: saya senang, ini adalah petualangan terbaik dalam hidup saya.
*
Senin 25 Maret saya bangun, jantung saya semakin lama semakin cepat debarnya, sepertinya sebentar lagi saya bisa kena serangan jantung. Terlalu senang, itulah penyebabnya. Sebentar lagi, pukul delapan pagi saya akan ke stasiun Tilburg Universiteit, mengambil kereta ke Eindhoven centraal. Di depan stasiun Eindhoven terdapat halte bus Eurolines, bus yang akan mengantar saya ke Nurnberg. Jadi saya bersiap-siap. Termasuk menyiapkan bekal di perjalanan sembilan jam, saya punya penyakit sejuta ummat, yaitu magh. Uniknya kalau kambuh, yang sakit alih-alih adalah kepala. Kalau itu terjadi rasanya sangat tidak nyaman dan tidak ada lagi hal yang menyenangkan. Saya harus menghindari itu, mengkondisikan diri saya untuk sehat sampai sekembali ke Tilburg lagi nanti. Sebenarnya berpikir bisa kembali ke Tilburg seperti berandai-andai karena sungguh saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri saya di Jerman kelak. Benar bahwa dari Indonesia ke Belanda pun saya seorang diri, tetapi di Belanda saya punya rumah dan kenalan, ini adalah kali pertama saya ke luar Belanda seorang diri, berpetualang benar-benar sendiri.

Patricia, sobat saya sampai takjub setakjub-takjubnya. "Qué?! Travelling on your own? I would not do that Rido!" katanya, sementara Mariana yang lebih bijaksana berkata "You'll be fine Rido, you can do it!". Pagi-pagi saya menerima pesan Aba dan Kak Nola. Masing-masing berpesan dalam konteks yang sama, tentang petualangan ke Jerman ini. Aba dan Ummi mungkin was-was, tapi jangankan mereka, sayapun merasa sedikit khawatir. Lagi-lagi untuk mewujudkan mimpi, saya beranikan diri melangkah keluar rumah pagi itu. Karena kita semua pasti sepakat, apa yang kita ingat jauh lebih berharga dari pada apa yang kita angankan semata. Saya ingin mengingat bahwa nun dulu, saya pernah duduk di tribun menyaksikan pertandingan Jerman.

Saya tiba di stasiun, dan bertepatan dengan saya tiba, kereta jurusan Eindhoven sedang menepi ke peron nomor tiga. Segera saya check in dengan kartu OV-chipkaart, kartu perjalanan yang berisi saldo, cukup check in di mesin dan check out saat tiba di tujuan, saldo akan berkurang dengan sendirinya. Saya duduk di platform yang kosong, kebetulan ada koran Metro di platform itu yang mungkin ditinggal orang. Dengan sok tau saya mulai baca-baca koran berbahasa Belanda tersebut, menebak-nebak terjemahannya, meski berakhir cukup tragis: tidak mengerti sedikitpun. Alhamdulillah, saya tiba di Eindhoven pukul 9 pagi. Saya sempat keliling-keliling stasiun sebelum akhirnya ketemu kantor Eurolines untuk check in tiket. Petugas wanita yang sedang jaga berkata:

"You can go to the bushalte nearby the station, you can see a board stating Eurolines there. And maybe you would need to take a bus to Bucaresti. That bus is going to stop at Nurnberg."

Eh, Bukares... Apa? Saya asli bingung dengan penjelasan petugas wanita itu. Dia terus menyebut Bucaresti, berasumsi bahwa saya tahu kota itu. Belakangan saya tahu Bucaresti itu adalah ibu kota Romania. Akhirnya tanpa loading seratus persen, saya keluar kantor Eurolines, menyusul orang-orang yang mulai berkumpul di halte Eurolines. Halte itu hampir-hampir tak dapat ditandai karena letaknya persis di tepi jalan, dengan papan tanda yang hanya satu arah. Orang di sisi yang lain (seperti saya) tidak akan pernah bisa melihat bahwa halte tersebutlah yang dimaksud petugas kantor Eurolines.

Bus tiba tidak tepat waktu, mula-mula bus menuju Amsterdam menepi, lalu Paris, lalu Barcelona. Tidak satupun yang bilang akan ke Bucaresti. Ada seorang bapak-bapak berwajah Spanyol yang anehnya merisaukan saya, dipikirnya saya anak hilang barangkali: "You're going to Paris?"

"No, Germany." jawab saya.

Tak lama ia menyeletuk lagi, "That's the bus to Paris, you know."

Iya pak, saya tau. Terimakasih atas kerisauannya, tapi saya tidak akan menukar Jerman dengan Paris. Lalu bus Eurolines tujuan Bucaresti akhirnya menepi di halte. Petugas dan supir bus mengecek tiket saya dan mempersilahkan saya duduk di mana saja saya mau. Saya mengambil kursi bersisian dengan jendela dekat pintu ke-dua bus. Aneh, di bus itu orang-orang berwajah Eropa timur semua, tapi orang Eropa timur terkenal baik hati dan ramah, jadi saya sedikit tenang. Hanya saja mungkin, tidak banyak orang Eropa timur yang bisa berbahasa Inggris.

Seperti umumnya semua bus, mereka singgah di banyak tempat. Saya melalui entahlah, rasanya ribuan kota. Mula-mula kami singgah di Duisburg, lalu Dusseldorf, lalu Koln (lagi!), lalu Frankfurt, lalu Mannheim, lalu... di tiket perkiraan tiba di Nurnberg adalah pukul 9 malam lewat 5 menit. Tapi hingga pukul 9 lewat dua puluh menit kami belum juga tiba di Nurnberg. Saya mulai panik sendiri di kursi saya, berkeinginan mengingatkan pak supir untuk jangan lupa singgah di Nurnberg. Awalnya saya tidak panik, karena saya bisa memantau sendiri kota-kota yang kami lalui melalui papan jalan di tepi jalan tol. Tahu kan, seperti "Maros, 35 km", yang ini fungsinya sama. Tetapi seiring waktu, salju makin deras di luar, dan jendela saya berembun parah, saya tidak bisa lagi melihat apa-apa di luar bus yang melaju kecuali bercak-bercak putih salju.

Kalau saya panik, saya sering membuat skenario-skenario. Misalnya kalau misalnya saya turun di kota yang bukan Nurnberg, baiknya saya protes sama pak supir atau segera ambil kereta ke Nurnberg. Pasti pak supirnya bisa mengantar setelah mengantar semua penumpang ke Romania. Lumayan, saya bisa jalan-jalan sampai Romania... eh, tapi kalau saya tidak muncul malam ini hotel Mercure Nurnberg, bisa-bisa booking saya hangus. Kalau saya naik kereta... ini sudah malam, siapa tau ada penjahat... untung saya masih punya beberapa kerat roti keju, nanti saya kasih saja ke penjahatnya, karena hemat saya orang-orang berbuat jahat karena lagi kelaparan.

Demikianlah saya sibuk dengan pikiran saya sendiri sampai akhirnya bus keluar dari jalan tol, hal ini sangat mudah diidentifikasi karena jalan tol di Eropa itu cenderung luruuuus saja, kalau mobil sudah menikung, itu berarti dia keluar jalan tol menuju kota terdekat. Lalu tak lama saya melihat papan reklame "Toy r us NURNBERG". Segeralah saya komat-kamit hamdalah.

Bus menepi di depan Hauptabanhof Nurnberg. Tanpa banyak bicara, saya mengenakan ransel dan menyelempang tas satunya. Begitu turun dari bus, saya melihat satu taksi menepi.

"Excuse me, are you free?"

"Yes, yes. Free." kata bapak supir taksi. Saya menyodorkan alamat Congress Hotel Mercure. Ia mengangguk dan mengembalikan kertas. Saya naik dan duduk. Alhamdulillah. Selamat hingga tujuan.

"Are you coming by bus?" bapak supir taksi memulai obrolan dengan suara ramah.
"Yes."
"Which city?"
"I'm from the Netherlands. I'm here to watch football match, world cup qualification."
"Oh right, versus Khazakstan. Are you fan of Khazakstan?"
"No, I'm German fanatics." jawabku bangga, dia terlihat senang karena jawaban saya.

Tak lama, kami menepi di depan Congress Hotel Mercure, saya membayar argo dan menyelamatkan diri dari kedinginan dengan segera masuk ke hotel. Tiga resepsionis menyambut saya dengan ramah, saya memperlihatkan bukti booking dan mereka memberikan saya kunci kamar yang letaknya di lantai satu.

Kamar saya tergolong kamar yang bagus dengan harga yang terjangkau. Ada kamar mandi, televisi, hairdryer dan pemanas air, sudah termasuk sarapan di hotel. Kebutuhan yang paling dasar untuk semua traveller. Aneh, saya tidak berdebar-debar lagi semenjak menginjak bumi Nurnberg. Semua kekhawatiran dan skenario buruk saya serta merta lenyap. Perasaan yang mendominasi saya adalah: lega dan senang berada di sini.

Dengan demikian, hipotesis 1 terbukti: Eurolines adalah line transportasi yang tepat untuk tiba di Nurnberg. Hipotesis 2 berkaitan dengan Booking.com dan mengenai hotel Congress Mercure juga partially supported, meski dibutuhkan meta-analisis hingga dua hari ke depan. Bagian berikut (2) dan (3) akan membahas hal tersebut.

Thursday, April 11, 2013

Solo (and Brave) Traveller: Hypothesis

II.    Hypothesis

Saya tidak keberatan tersesat, karena tersesat selalu merupakan suatu proses dari menemukan jalan yang benar. Tapi saya lebih senang memiliki rencana yang jelas. Apalagi di sini, menjaga diri sendiri adalah tanggung jawab saya sepenuhnya. Maka ke Jerman, harus direncanakan dengan sedetail-detailnya.
 
Per-minggu pertama Maret saya mulai merencanakan perjalanan. Yang paling saya butuhkan mula-mula untuk bisa menonton bola adalah tiket. Dunia pertiketan di Eropa sini dilakukan melalui internet. Saya mempelajari bahwa saya bisa memesan tiket pertandingan online dengan perantara EVENTIM.de, situs penyelenggara event-event besar di Jerman. Di situs itu kita bisa melihat peta stadion dan memilih tribun, range harga berkisar antara 25-100 euro. Karena saya adalah mahasiswa yang tahu diri, tentu saya memilih kursi termurah dengan konsekuensi sedikit jauh dari lapangan, sekitar 200m, sementara bagi saya yang terpenting hanyalah: berada di sana. Tribun saya (Block 26) letaknya di sisi belakang gawang, kami akan menyaksikan pertandingan secara vertikal, bukan horizontal seperti yang sering kita lihat di televisi. Mengucap bismillah, saya memesan tiket. Tiket pertandingan bola akan dikirimkan dalam tiga hari, berhubung tidak ada tiket online (yang bisa diprint sendiri) valid untuk event seperti ini. Mungkin karena ada kesenangan tersendiri saat memiliki tiket tradisional di tangan, seperti banyak orang Amerika yang mengoleksi tiket pertandingan bisbol. O iya, ada fakta baru yang saya sadari sewaktu memesan tiket, rupanya pertandingan bertempat di Nurnberg. Selama ini saya pikir (dan harap) kualifikasi di Jerman selalu akan dilaksanakan di Berlin, namun rupanya kali ini di Nurnberg. Ini pertama kali saya mendengar tentang Nurnberg. Kota macam apakah Nurnberg itu?

Saya mulai ‘meneliti’ Nurnberg, di mana letaknya, sejauh apa Hauptabanhof (HBF/ stasiun kereta utama) dari stadion Nurnberg, dan informasi relevan lainnya. Nurnberg rupanya terletak di Bayern, di atas Muenchen. Di kiri Nurnberg adalah Frankfurt, dan jauh di atas Nurnberg adalah Berlin. Untuk mencapai Frankfurt ataupun Berlin dibutuhkan perjalanan kereta empat jam. Sedangkan dari Belanda ke Frankfurt saja bisa habis 6-7 jam. Dengan kata lain, Nurnberg letaknya sangat jauh dari Belanda. Kurang lebih 10 jam perjalanan darat. 

Sekarang mengenai transportasi. Ini yang paling butuh perhatian, jangan sampai terlantar di jalan. Biaya kereta di Jerman tiga kali lebih mahal daripada kereta di Belanda. Hal ini tentu saja sangat masuk akal, mengingat jarak tempuh antar dua kota di Jerman setara dengan jarak tempuh antar delapan kota di Belanda. Tapi saya berencana ke sana menggunakan bus, selain ingin menikmati pemandangan, saya masih bingung menyambung/transfer kereta hingga ke kota yang saya tuju. Kalau dengan bus, bisa langsung ke kota yang dituju, cukup naik satu bus yang sama sepanjang perjalanan. Dengan demikian, sesuai saran yang saya dapatkan dari grup mahasiswa internasional Tilburg University, saya menggunakan jasa Eurolines.nl, lini transportasi darat inter-Eropa. Satu bus akan berangkat dari Eindhoven menuju Nurnberg pada tanggal 25 Maret, dan tidak ada bus Eurolines yang langsung berangkat dari kota Tilburg. Eindhoven adalah salah satu kota besar di Belanda, markas utama Phillips (lampu itu lho) ada di Eindhoven, sehingga wajar jika banyak keberangkatan bermula di kota ini. Jadi saya membeli tiket lagi secara online, kali ini tiketnya langsung dikirimkan ke alamat email dan bisa diprint sendiri. Saya akan berangkat pukul 11 pagi dari Eindhoven dan tiba di HBF Nurnberg pukul 9 malam tanggal 25 Maret 2013.

Tiket ke Nurnberg: beres. Tiket pulang: bingung dan berharap bisa naik kereta. Sebenarnya tidak sedikit orang yang kebingungan dengan sistem kereta Jerman, bahkan orang Jerman sendiri masih sering bingung. Ada perjalanan antar kota yang kita cukup membayar dua euro, tapi jika salah naik kereta, bisa-bisa kita didenda 60 euro karena menumpang kereta yang bertujuan sama tapi beda perusahaan. Walhasil, saya mempelajari situs bahn.com dengan sangat teliti. Di situs itu saya mengetahui bahwa untuk pulang dari Nurnberg ke Eindhoven (sebelum sambung ke Tilburg), saya harus membayar 109 euro. Saya hampir pingsan membaca keterangan itu. Tapi dengan penelitian lebih lanjut saya mengetahui bahwa saya bisa memesan day-ticket, judul Jermannya Quer-durchs-land-ticket. Cukup membayar 44 euro maka saya bisa keliling Jerman. Ini tentu saja jauh lebih hemat dari tiket normal, dan tiketpun dapat diprint sendiri. Selanjutnya saya hanya perlu membeli tiket kembali ke Eindhoven.

Saya awalnya berencana pulang lewat Berlin karena ingin jalan-jalan, tapi kereta Berlin ke Eindhoven sangatlah lama. Kereta Berlin lebih cepat jika ke Amsterdam, tapi alih-alih, dari Amsterdam menuju Tilburg lebih jauh. Misalnya, saya tiba di Amsterdam 27 Maret dini hari, bisa-bisa saya harus menginap di stasiun karena ketinggalan kereta terakhir ke Tilburg. Ini sangat beresiko. Lagipula, Berlin, seperti Cologne adalah kota yang luar biasa sibuk. Boleh jadi saya ke sana hanya untuk mendapati orang menyambar-nyambar saya jutaan kali. Setelah pertimbangan masak-masak, akan lebih masuk akal jika saya pulang lewat Frankfurt. Frankfurt ke Eindhoven durasi perjalanannya lebih singkat, dan dari Eindhoven ke Tilburg hanya butuh 20 menitan.

Karena tidak jadi jalan-jalan di Berlin, saya melanjutkan penelitian atas Nurnberg: situs wisata apa yang kira-kira layak dikunjungi, dan ternyata saudara-saudara, ada banyak situs wisata yang amat patut dikunjungi di Nurnberg. Bahkan lebih patut daripada Domtoren, Cologne itu. Contohnya: Dokumentationszentrum Reichsparteitagsgelände (Documentation Centre Party Rally Grounds), dan Zeppelin field. Maksud saya, Jerman adalah yang negara yang kaya akan sejarah. NAZI dan Hitler adalah dua kata kunci yang amat relevan dengan Jerman. Jadi museum dokumentasi NAZI yang hanya terletak di Nurnberg, di Congress hall NAZI, adalah situs yang sangat menarik bagi saya. Lalu Zeppelin field adalah lapangan mobilisasi NAZI yang dibangun tepat sebelum kejatuhan NAZI. Rupanya pula, di Nurnberg-lah, NAZI diadili atas Perang Dunia II. Wah!

Memikirkan bisa mengunjungi situs-situs yang sarat sejarah itu, saya semakin sulit tidur saat malam: terlalu senang. Satu hal lagi yang saya dapati melalui browsing di tripadvisor.com adalah: Nurnberg adalah rumah bagi kebun binatang terbesar di wilayah Bavaria. Di sana ada penguin! Setiap hari sampai tanggal 25 Maret, saya insomnia XD

Satu penelitian lagi yang harus saya lakukan adalah menyangkut akomodasi. Saya harus menemukan penginapan, berhubung saya akan berada di Jerman selama tiga hari dua malam, untuk hal ini saya mengandalkan Booking.com, berhubung situs ini mencakup deal jutaan hotel di seluruh dunia. Satu hotel letaknya 15 menit jalan kaki dari stadion dan Zeppelinfield, 10 menit jalan kaki dari museum dokumentasi NAZI (Congress hall), dengan rate yang juga masuk akal, termasuk sarapan: Congress Hotel Mercure Nürnberg an der Messe. Alhasil, saya membooking kamar di hotel Mercure untuk tiga hari dua malam. Bukti booking cukup diprint sendiri dan dibawa ke hotel.

Semua dokumen sudah beres. Jadwal wisata pada tanggal 26 dan 27 Maret sudah disusun. Siap ke Jerman!

Monday, April 8, 2013

Solo (and cute) Traveller: Preface & Theoretical Framework

Preface

Ada jurnal yang saya tinggal di kamar saya di Makassar, buku yang di awal tahun saya tulisi bucket list lagi seperti rutinnya. Sepanjang selebar mungkin. Karena kata orang, pekerjaan manusia adalah bercita-cita, meminta pada zat Yang Maha Kaya. Kata orang lagi, setelah kamu menulis daftar keinginan, tinggalkanlah, bepergianlah, sekembalimu buka kembali daftar itu dan siapa yang tahu kamu mungkin telah mewujudkan banyak mimpi. Sebenarnya saya meninggalkan buku itu lebih karena alasan berat (T^T), tapi saya yakin saat saya kembali nanti, ada banyak keinginan yang akan saya centang. Salah satunya yang paling saya ingat adalah: menonton bola langsung.

Ya, benar, saya sudah menonton bola langsung! Saat menulis inipun nafas saya tertahan, jantung saya berdebar cepat, masih sulit percaya bahwa keinginan itu telah terpenuhi seminggu kemarin. Masih serupa mimpi saya menempuh perjalanan darat sepuluh jam ke bumi Jerman seorang diri, berdiri di depan stadion Nurnberg, Bayern, duduk menunggu pertandingan selama dua jam hampir diserang hipotermia, lalu satu demi satu Joachim Loew, Phillip Lahm, Mesut Ozil, Sami Khedira, Mueller, Boateng, dan semua laki-laki kebanggaan saya berdiri di hadapan saya hanya dalam jarak dua ratus meter. Sungguh serupa mimpi.

Kali ini saya akan menulis semua yang saya lalui, sedetail-detailnya sampai saya harus memperingatkanmu bahwa tulisan ini adalah tulisan yang amat sangat panjang. Saya sedang berpikir untuk menulisnya dalam beberapa episode. Menyerah atau lanjutkan? :D

I.    Theoretical framework (maaf keracunan tesis)

Salah satu alasan saya akhirnya mengambil beasiswa parsial Belanda ini, meski tidak dalam porsi yang signifikan, adalah Belanda bersebelahan dengan Jerman. Kenapa hal itu relevan? Karena saya adalah penggemar Die Nationalmannschaft a.k.a timnas Jerman. Semua orang yang dekat dengan saya tahu itu, bahkan kamu yang pernah buka blog saya pun mungkin tahu dari sejumlah post berkaitan hal itu (link, link, link, link, link, link).

Kenapa saya suka timnas Jerman adalah hal yang masih misteri. Saya bisa mengemukakan banyak logika teknis seperti distribusi kekuatan dalam tim, strategi mutakhir, regenerasi pemain dan lain sebagainya yang pada akhirnya bukan alasan utama karena banyak timnas lain yang juga melakukan itu. Kesukaan saya adalah kesukaan yang sulit dijelaskan. Yang saya ingat adalah tahun 1998, di piala dunia pertama saya seumur hidup: kami duduk di ruang tamu menonton final piala dunia Brazil melawan Jerman, saya dan adik-adik saya membela Ronaldinho dan kawan-kawan, kakak perempuan saya satu-satunya membela Kahn dan kawan-kawan. Kemenangan berpihak pada kami, kakak saya menangis karena kami melompat-lompat kegirangan, atau karena saat itu di layar televisi wajah Oliver Kahn sedang dalam zoom optimal, dan ia terlihat… sedih. Kahn menunduk putus asa di antara tiang gawangnya setelah dibantai Brazil. Punggung Michael Ballack berjalan menjauh ke sisi lapangan. Saat-saat itu sepertinya amat memilukan bagi pemain Jerman. Lalu demi melihat kakak saya, juga pemain-pemain Jerman yang kasihan, saya berpikir di piala euro atau piala dunia berikutnya akan membela timnas Jerman. Kita akan menangis atau tertawa bersama, oke? Kalau mau mengerutkan kening, silahkan, tapi begitulah yang saya duga sebagai asal muasal pembelaan saya atas timnas Jerman. Sedikit tidak masuk akal memang :D
 
Jadi saya senang sekali atas fakta Belanda adalah tetangga Jerman, ada peluang bagi saya untuk menonton Die Nationalmannschaft secara langsung! Tidak terkira senangnya saya memikirkan kemungkinan itu. Saya rutin memantau jadwal pertandingan di www.dfb.de. Suatu ketika, Jerman rupa-rupanya akan bertanding melawan Swedia di Berlin 16 Oktober 2012. Sayangnya pertandingan ini bertepatan dengan musim ujian. Suatu ketika pula, Jerman akan tanding persahabatan melawan Belanda di Ajax Amsterdam (stadion utama). Tiket mudah didapatkan, cukup bersepeda dua kilometer ke utara Tilburg. Masih musim gugur dan suhu kitaran 11-18 celsius. Transportasi ke stadion cukup mudah, cukup naik kereta Intercity satu jam setengah. Saya bahkan tidak perlu menginap, masih ada kereta terakhir untuk kembali ke Tilburg. Bukankah ini peluang yang amat sangat berharga? Tapi saya dengan beraninya tidak memanfaatkan peluang itu karena saya saat itu masih kurang pasrah. Perbedaan berani dan pasrah pada hakikatnya amatlah tipis, saya hidup di Belanda seorang diri tanpa sanak saudara, daripada berani saya lebih senang menyebutnya pasrah. Pasrah pada kehendak Allah. Jika saat itu saya tidak pasrah, saya pastilah masih di Makassar, menunggu dengan berani full-scholarship dari Amerika yang masih dalam ruang tanya.

Demikianlah saya belum pasrah, dan benarlah bahwa Allah belum menghendaki saya bertemu lelaki-lelaki kebanggaan saya di waktu itu. Mungkin di lain kesempatan, di tempat yang jauh lebih baik, dan dalam situasi yang lebih menuntut kepasrahan.

Pada malam timnas Jerman bertanding melawan timnas Belanda di Ajax, alih-alih saya duduk di meja belajar  menatap secarik kertas yang sudah jauh-jauh hari saya tulisi, cita-cita untuk menonton timnas Jerman langsung. Saya buka lagi situs dfb.de, pada tanggal 26 Maret, timnas Jerman akan bertanding melawan Khazakstan. Pertandingan selanjutnya adalah pada bulan September 2013. Maka resmilah, pertandingan di bulan Maret adalah kesempatan terakhir saya untuk mewujudkan mimpi. Kalau bukan Maret, maka tidak sama sekali. Semua motivator setuju bahwa untuk mewujudkan mimpi, caranya adalah bukan dengan terus bermimpi, tetapi bangkit. Mungkin itu pula kenapa setelah menulis semua keinginan, kita harus beranjak dari kursi, keluar dari kamar kita yang hangat.

Saya balik kertas cita-cita itu, dan saya tulisi misi baru. Kali ini tidak lupa disertai basmalah, berpasrah.
*

Belakangan ini semua tugas, ujian, dan tesis memenuh-sesaki kepala saya. Kadang saya merasa hal itu sudah sepantasnya, saya mendapat amanah dari Aba dan Ummi untuk belajar di sini, bukan untuk memikirkan hal-hal lain. Karena itu kertas yang saya pajang di meja belajar saya perihal pertandingan Jerman di bulan Maret lebih sering saya abaikan. Apalagi setelah saya mengunjungi Koln (Cologne), Jerman, 21 Desember 2012.

Kunjungan itu bukan satu kunjungan mengesankan yang saya akan senang ceritakan. Bintang Rubi meminta saya untuk menceritakan pengalaman saya menginjak bumi Jerman untuk pertama kalinya, saya hanya bisa menulis “dingin”, tersurat dan tersirat.

I*ESN, organisasi mahasiswa Belanda dan mahasiswa Internasional di Tilburg University yang dipimpin Tim deVries mengadakan trip pasar natal ke Cologne, Jerman. Cukup membayar 15 euro dan bisa pulang-pergi Cologne dengan bus wisata. Itu termasuk amat sangat murah berhubung 15 euro adalah basis harian perjalanan kereta di Belanda, untuk ke luar negeri kita butuh 70 euro minimal. Jadi, saya tertarik ikut, bukan untuk ke pasar natalnya tapi untuk mengunjungi Jerman. Negeri yang selalu saya bela di piala euro dan piala dunia. Saya berangkat bersama kak Nola, Mariana, dan kurang lebih 50 mahasiswa Tilburg University lainnya.

Kami tiba di Cologne hanya dalam waktu 3 jam, durasi tempuh normal adalah 4 jam. Resmi! 21 Desember 2012, saya menjejakkan kaki pertama kali di Jerman, di depan Domtoren, gereja terbesar dan termegah di Cologne –mungkin se-Jerman juga, entahlah saya tidak tertarik mencari tahu. Tapi seiring langkah saya di kitaran downtown Cologne, ada hal yang menarik yang saya simpulkan: orang Jerman, atau penduduk Cologne tepatnya, berjalan dengan luar biasa persisten. Mereka bahkan tanpa perasaan menyambar orang yang berada di jalur mereka. Saya yang mungil ini tak ayal disambar berjuta-juta kali (baca: didramatisasi). Entahlah, hal itu membuat saya sedikit kecewa. Dari kecewa menjadi sakit hati saat saya dan kak Nola mencari alamat, kami menanyai orang-orang, dan bahkan sebelum orang-orang Cologne ini membaca alamat yang kami tuju mereka sudah bilang tidak tahu. Alamat itu adalah alamat masjid, bukan sensitivitas agama ya, karena kami tidak bilang mencari masjid, kesimpulan saya adalah orang Cologne adalah orang-orang yang ‘dingin’. Saya teringat ‘rumah’ saya, Belanda. Hal-hal ini adalah hal yang tidak mungkin terjadi di Belanda. Saya tidak suka orang Jerman! Belanda adalah negara paling ramah se-Eropa! Kami mau pulaaaanggg TT
Tapi selain kekecewaan yang bertumpuk-tumpuk, saya menemukan ice skating rink. Rupanya saya ke Jerman hanya untuk melihat rink itu. Saya masuk ke rink dengan sepatu berpisau, jatuh entah berapa kali, badan saya memar-memar, tapi tidak sedikitpun saat itu saya merasa sakit –luka di hati karena perilaku orang Jerman lebih menyakitkan. Pada akhirnya, kenangan itulah yang saya awetkan tentang Cologne, Jerman.

Kesan mengenai orang Jerman membuat saya sedikit jenuh pada janji saya di secarik kertas itu. Tapi satu ketika saya merasa saya tidak adil. Jerman dalam mimpi-mimpi saya adalah stadion sepak bola dengan lapangan hijau luas, di mana sebelas pemain bola yang tangguh sedang berlari disorak-sorai pendukung-pendukung setia dari tribun-tribun yang gegap gempita. Saya adalah salah satunya, dan selama ini saya selalu ingin menyoraki mereka secara langsung. Saya harus adil pada diri saya sendiri dan pada tim yang selalu saya bela. Baiklah saya akan ke Jerman sekali lagi!

“Iye. Ka kapan lagi?” pertanyaan retoris Aba dan Ummi saat saya menghubungi keduanya melalui skype. Beliau berdua merestui keinginan saya untuk menonton bola langsung. Sungguh, saya selalu bersyukur memiliki orang tua seperti Aba dan Ummi. Kepercayaan, dukungan dan pengertian adalah stok yang tak pernah habis mereka berikan pada saya. Alhamdulillah.  

“Tapi ba, mi, sendirian ka mungkin… nda ada orang mau ikut kalo nonton bola.” Saya menambahkan.

“Kan ke Belanda juga sendirian jeki. Ada Allah yang jaga.” Disertai senyum teduh, seperti selalu. Di kemudian hari sering di whatsapp “betulanki sendirian?” “nda ada betul temanta?”, kekhawatiran yang sering kali justru menyejukkan hati saya ;)


Benar, kamu tidak salah baca, saya akan ke Jerman seorang diri. Dan karena saya seorang diri, saya punya banyak rencana: melakukan hanya hal-hal yang saya sukai. Inilah keuntungan solo-traveller, tidak perlu mengikut kepentingan dan kesukaan teman seperjalanan. Apalagi untuk saya sendiri, saya punya list hal-hal unik yang ingin saya lakukan yang mungkin tidak senada dengan list teman seperjalanan yang saya punya, seperti misalnya: menonton bola live.